TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Himpunan Gambut Indonesia (HGI) menilai, pernyataan sejumlah institusi yang mengaitkan kebakaran gambut akibat penanaman kelapa sawit tidak ilmiah.
“Tidak satupun dari institusi itu yang memiliki kajian ilmiah yang mampu menjelaskan sawit sebagai stimulus dari kebakaran di lahan gambut,” kata Ketua HGI Supiandi Sabiham Guru di Jakarta, Rabu (1/6/2016).
Menurut Supiandi pernyataan keliru dan berulang-ulang sangat menyesatkan dan mencoreng kredibilitas institusi bersangkutan.
Apalagi jika hal itu disampaikan oleh orang-orang pada institusi yang seharusnya berbicara secara akademisi.
Supiandi juga menilai, pernyataan-pernyataan tersebut nyaris tidak mempunyai hubungan dengan perbaikan tata kelola gambut. Semangatnya hanya untuk memojokkan industri sawit nasional.
“Pernyataan-pernyataan itu sangat emosional, bertendensi negatif serta tidak ilmiah sama sekali,” kata Guru Besar IPB itu.
Menurut Supiandi, institusi perlu mengubah paradigma berpikir dan lebih banyak belajar dari institusi bergengsi global seperti Enviromental Protection Agency (EPA) dari Amerika Serikat dan Universitas Göttingen, Jerman.
EPA adalah sebuah lembaga Pemerintah Amerika Serikat yang bertugas melestarikan lingkungan hidup dan kegiatan kerjanya mirip Kementerian Lingkungan Hidup di Indonesia.
“EPA justru melakukan kajian yang mendukung pengembangan sawit di Indonesia sebagai minyak nabati unggulan. Dukungan riset untuk pengembangan sawit nasional juga dilakukan Universitas Göttingen, Jerman,” kata Supiandi.
Karena itu, kata Supiandi, institusi perlu belajar dari banyak pihak untuk memperoleh masukan yang benar.
“Berbahaya hanya sekedar menggalang kekuatan, namun tidak mau belajar dari akademisi yang paham persoalan gambut dan kelapa sawit,” kata Supiandi.
Supiandi memastikan, hingga hari ini, persoalan kebakaran gambut di Indonesia lebih disebabkan masalah sosial.
“Tidak ada korelasi ilmiah antara kebakaran gambut dengan penanaman sawit,” kata dia.
Pernyataan senada disampaikan Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Nurwadjedi.
Menurut dia, 90 persen karhutla dilakukan masyarakat.
Pembakaran lahan oleh masyarakat merupakan masalah sosial. Upaya terpenting untuk penanggulangan karhutla adalah memetakan desa-desa di sekitar kawasan hutan.
“Untuk itu, pemerintah harus mempunyai program pencegahan kebakaran di tingkat desa yang mampu membantu penyelesaian persoalan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat,” kata Nurwadjedi.
Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Dr Daud Silalahi mengingatkan pemerintah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha terkait penghentian sementara (moratorium) gambut .
Menurut Daud Silalahi, karena sifatnya sementara, harus ada batas waktu jelas. Belajar dari kasus ini restorasi gambut, pemerintah sebaiknya perlu melakukan banyak kajian sebelum menerapkan satu kebijakan lingkungan.
“Pemikiran-pemikiran dari kebijakan itu juga harus dalam konteks Indonesia serta mampu menstrukturkan hukum lingkungan secara akademis. Ini agar kebiajakan tidak dimanfaatkan pihak tertentu dan memberi kepastian bagi dunia usaha sebagai roda penggerak ekonomi,” kata Daud Silalahi.