TRIBUNNEWS.COM, VIENNA- Menteri Energi Arab Saudi yang baru, Khalid Al Falih dalam wawancara eksklusifnya dengan CNN Money menyatakan optimismenya harga minyak mentah dunia akan terus naik dan akan menembus level 60 dolar AS per barel.
Pernyataan itu disampaikannya seusai penutupan kongres OPEC di Wina.
Dalam pertemuan tersebut, Arab Saudi mengajukan usulan penerapan kuota dan pembatasan produksi minyak.
Namun, organisasi pengekspor minyak itu memutuskan untuk menolak penetapan kuota produksi.
“Hal yang harus dilakukan sekarang adalah terus memantau pasar dan membiarkan pasar bekerja. Ini yang berlangsung dalam mendukung kami sekarang," kata Al Falih, terkait penurunan produksi oleh non-OPEC dan kenaikan harga minyak.
Al Falih, menyatakan Harga minyak dunia sangat mungkin menembus US$ 60 per barel pada akhir tahun ini. Bahkan, harga minyak bisa menanjak lebih tinggi lagi di 2017.
Dia menyatakan, pasokan dan permintaan telah ‘bertemu’ dan harga minyak telah terangkat oleh pembatasan pasokan.
Gangguan pasokan di Nigeria, Kanada dan Columbia baru-baru ini telah menyokong penguatan harga minyak menembus US$ 50 per barel.
Harga ini naik hampir dua kali lipat dari harganya pada Februari 2016.
Meningkatnya harga minyak bakal membuat para pengendara di Amerika menjerit.
Maklum saja, harga minyak yang naik tinggi telah mengangkat harga bensin menjadi US$ 2,32 per galon.
Padahal, Februari lalu harga bensin masih US$ 1,7 per galon.
Namun Al Falih mengingatkan, bahwa Harga minyak dunia US$ 50 belum cukup menarik bagi investasi untuk menjaga ladang minyak tua.
Menteri Energi Arab Saudi ini mengkhawatirkan potensi penurunan pasokan yang akan memicu lonjakan harga yang ‘untuk jangka panjang justru kontra-produktif terhadap minyak.”
Arab Saudi bertentangan dengan Iran, sekutu lama OPEC yang menggenjot produksi minyaknya ke level sebelum terkena sanksi ekonomi, meskipun pasokan minyaknya cukup banyak.
Al Falih menegaskan kembali sikap Saudi bahwa Iran harus menjadi bagian dari setiap perjanjian OPEC ke depan untuk menjaga volume produksi.
"Jika semua orang berhenti berproduksi, Iran juga harus melakukannya seperti orang lain," ujarnya.
Namun, sikap Al Falih terhadap Iran tampaknya lebih lunak dibanding pendahulunya, Ali al-Naimi yang puluhan tahun menjadi Menteri Energi Arab Saudi.
Al Falih mengakui bahwa "setiap negara memiliki hak dan berdaulat untuk mengelola produksi minyaknya sendiri."
Dia bahkan menyebut Iran "anggota kunci " OPEC, dan berjanji bahwa Arab Saudi akan "bekerja sama dengan semua negara anggota .”
Sumber: CNN Money