TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Arief Poyuono meminta pemerintah agar Barang Milik Negara (BMN) seperti pelabuhan, bandara, hotel, jalan tol yang saat ini dioperasikan oleh BUMN agar dijadikan sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN).
Langkah tersebut, kata Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu, diyakini sebagai salah satu cara untuk meningkatkan nilai kapitalisasi perusahaan-perusahaan BUMN dalam mencari sumber pendanaan yang besar agar dipercaya kreditur.
Sebab untuk memperoleh kepercayaan kreditur diperlukan adanya laporan keuangan bankable dan dianggap memiliki kemampuan untuk mengembalikan dana pinjaman dari kreditur.
“Perusahaan seperti PT Pelindo, PT Jasa Marga dan PT Angkasa Pura yang ditugaskan untuk mencari pendanaan oleh Presiden Joko Widodo dalam mensukseskan program Nawacita sebaiknya dijadikan sebagai PMN sehingga akan meningkatkan nilai kapitalisasi BUMN, “ ujar Arief Poyuono dalam siaran pers yang diterima wartawan, Senin (7/6/2016).
Arief menguraikan kondisi tersebut dimungkinkan terlaksana dalam perubahan UU APBN 2016 untuk menetapkan PMN yang dipergunakan dan/atau dimanfaatkan oleh BUMN yang harus segera ditetapkan statusnya.
Misalnya penerapan dalam UU Nomor 10 tahun 2010 BMN yang berasal dari daftar isian kegiatan (DIK)/daftar isian proyek (DIP)/Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Negara/ Lembaga yang dipergunakan dan/atau dioperasikan oleh BUMN dan telah tercatat pada Neraca BUMN sebagai bantuan pemerintah yang belum ditetapkan statusnya (BPYBDS) atau akun yang sejenis, ditetapkan untuk dijadikan PMN pada BUMN tersebut.
Namun kata Arief, rencana presiden Joko Widodo menggunakan BUMN sebagai lokomotif Nawacita akan terhambat dengan kebijakan dari Kementerian Keuangan dan Kementerian teknis seperti tertera dalam Permenkeu Nomor 57/PMK.06/2016 tentang tata cara pelaksanaan sewa barang milik negara serta Permenhub Nomor 52 Tahun 2015 tentang pelimpahan sebagian wewenang Menhub dalam rangka pengelolaan BMN di lingkungan Kemenhub.
“BUMN yang selama ini sudah mencatatkan sebagai sumber pendapatan dalam laporan Keuangan dan RKAP nya sekarang diharuskan melakukan pembayaran sewa pada pemerintah seperti sewa bandara dan pelabuhan yang dibangun dari dana APBN sebelumnya, ini aneh,” katanya.
Arief mengatakan apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka hal tersebut akan mempengaruhi nilai buku BUMN yang berdampak pada penilaian kreditur yang akan memberikan pinjaman pada BUMN.
Karenanya FSP BUMN mendesak agar Presiden Jokowi untuk mengevaluasi kebijakan kementeriannya yang menghambat program Nawacita presiden Joko Widodo.
“Dicurigai kedua Permen tersebut sebagai bagian agenda besar para mafia di kedua Kementerian itu agar bisa mengantikan BUMN yang mengoperasikan BUMN tersebut ke pihak swasta dengan harapan bisa dijadikan ATM bersama,” katanya.
Arief menilai modus yang dilakukan kedua kementerian itu yakni dengan disewakannya BMN ke pihak swasta, biasanya oknum petinggi di Kementerian itu meminta jatah saham atau jatah preman bulanan kepada pihak wasta yang menyewa BMN itu.
Arief mengungkapkan pemerintah keseriusan membenahi infrastruktur terlihat dari peningkatan alokasi APBN pada tahun 2015 sebesar Rp290triliun meningkat menjadi Rp300triliun setahun berikutnya.
Bahkan untuk merealisasikan Nawacita bidang Infrastruktur, Jokowi mengajukan ke DPR RI untuk menyuntikan dana APBN ke BUMN dalam bentuk PMN agar kebutuhan infrastruktur yang sudah direncanakan pemerintah sepanjang 2015-2019 dengan nilai besar yakni Rp 5.000 triliun hingga Rp 6.000 triliun.
“Artinya, tiap tahun butuh antara Rp 1.100 triliun sampai Rp 1.200 triliun artinya untuk tahun 2016 masih kekurangan 900 trilyun rupiah,” katanya.
Dijelaskan, gambaran angka itu sudah sesuai dengan keinginan Presiden lebih memberi peran BUMN untuk mendukung pembuatan dana pembangunan infrastruktur yang masih kurang 900 Triliun tersebut.