TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adakah monopoli di industri seluler nasional? Pertanyaan ini tentunya menggelitik banyak pihak untuk menelisiknya.
Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB memiliki pandangan tersendiri. Lembaga ini menilai isu praktik monopoli di industri seluler, khususnya di luar Jawa, yang berkembang belakangan ini di nilai tak relevan dengan realita di lapangan.
M Ridwan Effendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, menegaskan, pasar luar Jawa tidak dimonopoli oleh operator dominan saja.
"Telkomsel bukan pemain pertama yang mendapat lisensi penyelenggaraan jaringan, tetapi karena sungguh-sungguh membangun jaringan, akhirnya berbuah di seluruh Indonesia mendapatkan banyak pelanggan mobile," kata dia di Jakarta, Senin (20/6/2016).
Nah, jika ada yang kesulitan melawan operator dominan, harus ditanya balik. Kenapa lisensi dapatnya sama, bangun jaringannya tidak sama?
Menurut Ridwan, masyarakat sudah memiliki pemikiran tersendiri dalam memilih operator. Masyarakat dalam suatu wilayah tidak mungkin tertarik dengan operator yang hanya menancapkan 1 stasiun pemcancar (BTS) saja di tengah kota, demi untuk memenuhi modern licensing di 33 propinsi.
“Khittah seluler adalah mobile. Maunya pelanggan itu sinyal ikut kemana dia pergi dan bisa menghubungi dimana saja kerabatnya," kata dia.
"Jadi, sebelum isu monopoli ini diseriuskan pula oleh regulator, baiknya cek dulu pemenuhan jangkauan secara layanan dan pemasaran, bukan untuk memenuhi aturan saja. Hukum pasar bicara disini.”
Ridwan mengingatkan, monopoli itu tidak dilarang. Tapi praktek monopoli itu yang tidak boleh.
Dalam hal ini tentunya masyarakat Indonesia sudah pintar memilih operator mana. Ada yang memang suka dengan tarif murah, ada pula yang suka dengan cakupan yang luas, walau mungkin tarif lebih mahal sedikit.
Tarif yang menjadi berbeda, tentu tak bisa dilepaskan dari besaran investasi untuk membangun infrastruktur yang lebih mahal di luar Jawa.
“Dalam catatan saya ada misalnya operator yang hanya membangun 1 BTS 3G di kota besar di luar jawa, keluar kota sedikit sinyal sudah hilang. Operator seperti ini tentunya akan sulit mendapatkan pelanggan yang mobile, hanya yang berada di pusat cakupan saja yang tertarik,” tutupnya.
Mekanisme Pasar
Pada kesempatan lain, Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengungkapkan, pasar seluler Indonesia bersifat terbuka dan ditentukan melalui mekanisme pasar.
“Agresifitas dari operator membangun jaringan itu kunci dia menguasai layanan. Di bisnis seluler itu dikenal 3C, Coverage, Capacity, Content. Coverage atau jangkauan yang utama. Saya lihat yang agresif dan konsisten itu memang Telkomsel urusan coverage, wajar dia paling luas dan banyak pelanggan,” kata dia.
Menurut Kristiono, jika sekarang ada operator yang berteriak ada ketidakseimbangan market share secara layanan, sebaiknya melihat kembali kepada kewajiban membangunnya sesuai modern licensing yang diperoleh dan dijanjikan.
“Seharusnya ketentuan tersebut dipenuhi oleh operator sehingga terjadi keseimbangan pasar dan akhirnya konsumen yang diuntungkan dengan adanya kualitas yang baik dan harga yang kompetitif. Sebaiknya yang ketinggalan membangun berbenah diri saja untuk mengejar ketertinggalannya,” pungkasnya.
Pangsa Pasar
Sebelumnya, Indosat Ooredoo menuding operator dominan menguasai 80 persen pangsa pasar seluler di luar Jawa.
Namun, Telkomsel menegaskan penguasaan pasar di luar Pulau Jawa diraih melalui sebuah proses yang panjang dan jatuh bangun yang luar biasa sejak berdirinya di tahun 1995.
Dalam catatan indosat Ooredoo, Telkomsel telah memiliki 116.000 BTS Telkomsel tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Angka penambahan jaringan ini dilakukan secara konsisten dengan rata-rata sebesar 25 persen setiap tahun.