Laporan Wartawan Kontan, Yudho Winarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pihak menilai rencana pemerintah untuk normalisasi PPN rokok dipandang masih perlu untuk dikaji kembali. Sebab, banyak yang harus dipersiapkan untuk memberlakukan beleid tersebut.
Yustinus Prastowo dari Center for Indonesia Taxation Analysis menilai, normalisasi ini nantinya akan melibatkan seluruh mata rantai industri. Dan proses ini akan rumit.
Sebab, pemerintah harus benar-benar sudah siap secara administrasi untuk menerapkan normalisasi ini.
"Jika tidak akan rawan kebocoran-kebocoran. Jika ada kebocoran, sudah bisa dipastikan semua pihak akan rugi," jelasnya, Selasa (21/6/2016).
Yustinus mengusulkan, sebelum diterapkan peraturan ini, alangkah baiknya pemerintah mempersiapkan diri agar bisa mengontrol administrasi. Pasalnya, dengan sistem administrasi saat ini, pastilah akan banyak kebocoran.
Ia juga meminta pemerintah untuk fokus dengan sistem yang sudah ada. "Aturan sekarang sudah terukur," katanya.
Tidak Perlu Diubah
Senada, Ketua Gabungan Produsen rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Muhaimin Moefti mengatakan, sistem yang dibuat pemerintah saat ini sudah pasti dan baik. "Jadi kenapa harus diubah?" ucapnya.
Menurut Moefti, normalisasi butuh persiapan yang matang mulai dari sistem administrasi hingga sosialisasi ke industri terkait. "Bila tak maksimal tentu akan ada ketimpangan-ketimpangan," tutupnya.
Per Januari 2016 lalu, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan tarif PPN rokok efektif dari 8,4 persen menjadi 8,7 persen. Tarif tersebut dikenakan di tingkatan pabrik rokok.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Badan Kebijakan Fiskal, pemerintah ke depannya mempunyai rencana untuk memberlakukan PPN normal 10 persen untuk PPN rokok. (Yudho Winarto)