TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pengamat masih mempersoalkan kebijakan penurunan biaya interkoneksi yang dilakukan pemerintah awal Agustus ini. Penurunan ini dinilai bisa merugikan operator yang masih terus membangun jaringan.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M Ridwan Effendi menerangkan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) salah kaprah melihat biaya interkoneksi. Bahayanya, bisa berujung terjadinya polemik di industri telekomunikasi.
“Jika melihat pernyataan dari Menkominfo Rudiantara di media massa ada salah kaprah melihat isu penurunan biaya interkoneksi. Pertama, soal isu efisiensi. Kedua, soal harapan akan turunnya tarif pungut ke pelanggan kalau biaya interkoneksi diturunkan,” kata dia, Jumat (12/8).
Dia menjelaskan, biaya interkoneksi merupakan cost recovery bagi operator. Sementara tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, biaya aktivasi, dan margin. Biaya recovery dibutuhkan operator untuk bisa terus membangun dan menjaga kualitas layanan.
Nah, jika sekarang dipaksa cost recovery dibawah harga jual, hal itu dinilai sama saja menyuruh operator merugi. Operator yang paling merugi yakni operator dominan yang sudah banyak bangun jaringan.
Lebih lanjut, jika biaya recovery tak sesuai dengan kebutuhan membangun jaringan, maka pada akhirnya tujuan dari visi Menkominfo yakni infrastruktur broadband yang merata tidak akan tercapai.
“Bagaimana mau bangun jaringan ke daerah kalau jual rugi? Kalau begitu, mending operator fokus di kota saja untuk jaga pelanggan,” katanya.
Ridwan menyarankan Menkominfo Rudiantara untuk kembali membuat perhitungan ulang biaya interkoneksi sesuai dengan dokumentasi publik yang akan menerapkan regionalisasi. Penghitungan ulang ini untuk melihat investasi yang sudah dikeluarkan operator dalam membangun jaringan.
Belum Final
Pengamat Telekomunikasi Sigit Puspito Wigati Jarot menilai biaya interkoneksi yang diumumkan pemerintah bukan angka final dan masih bisa diubah. Sebab, aturan ini berupa Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri.
“Secara aturan bisa diubah melalui revisi dengan yang secara hirarki setingkat atau lebih tinggi,” katanya.
Menurutnya, masalah metode perhitungan biaya interkoneksi bergantung kepada kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan yakni Menkominfo sesuai dengan UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
“Biasanya akan dilihat kebijakan kompetisinya, diseleraskan dengan ingin mempercepat penggelaran broadband, atau bisa saja dianggap semua sudah cukup. Ini Menkominfo yang tahu persis kenapa akhirnya dipilih pola perhitungan (simetris atau asimetris) itu. Kalau soal berhitung pasti obyektif, pemilihan metode itu yang subyektif,” katanya. (Aprilia Ika)