TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penolakan kebijakan penurunan tarif interkoneksi dengan mengusung isu kepentingan asing versus nasionalisme dinilai tidak etis dan mengganggu iklim investasi yang sedang dibangun pemerintah.
Pasalnya, hampir seluruh perusahaan telekomunikasi di Indonesia, bahkan PT Telkomsel dimiliki oleh pemegang saham asing, baik mayoritas maupun minoritas.
Bahkan, Telkomsel memberikan dividen sekitar Rp 7 triliun setiap tahun ke Singapore Telecommunications Limited (Singtel) sesuai porsi kepemilikan saham sebesar 35%.
Nonot Harsono, Komisioner BRTI periode 2009-2015, menilai investasi asing yakni Singapura, Qatar, Malaysia, dan yang lainnya di industri telekomunikasi di Indonesia terjadi atas undangan pemerintah negara ini.
Pernyataan tersebut disampaikan menanggapi isu kepentingan asing yang diusung para pendemo penolak kebijakan penurunan tarif interkoneksi.
“Maka tentu tidak elok jika isu asing versus nasionalisme diramaikan ketika negeri ini masih membutuhkan investor luar negeri. Yang utama harus disusun adalah skenario kerjasama global yang saling menghormati dan saling memberi keuntungan,” kata Nonot dalam keterangan pers, Rabu (31/8/2016).
Dia mencontohkan kepemilikan saham PT Telkomsel sekitar 35 persen dikuasai Singapore Telecommunications Limited (Singtel) asal Singapura.
Juga Indosat yang dimiliki Ooredoo asal Qatar, dan Xl yang dimiliki Axiata asal Malaysia.
Maka tidak heran, Telkomsel meraup net profit lebih dari Rp 20 triliun dan keuntungan ini dibagikan ke Singapore Telecommunications Limited (Singtel) 35% dan ke PT Telkom 65%, sesuai kepemilikan saham.
Jika keuntungan ini stabil, maka sekitar Rp 7 trilliun setiap tahun menjadi bagian dari Singtel.
Bahkan, jika ditelusuri lebih dalam, sumbangan dividen PT Telkom Tbk ke kas negara lebih kecil dibanding dividen yang diterima oleh Singtel dari Telkomsel.
Berdasarkan laporan keuangan konsolidasi Telkom dan Telkomsel 2015, dividen yang dibagikan Telkomsel pada 2015 mencapai Rp 21,53 triliun.
Dari jumlah tersebut, dividen Telkomsel diberikan kepada induk usaha yakni PT Telkom Tbk (TLKM) yang memegang 65% saham sebesar Rp 13,99 triliun, sedangkan Singtel memperoleh dividen Rp 7,53 triliun sesuai dengan 35% kepemilikan sahamnya di Telkomsel.
Sementara Telkom membagikan dividen ke pemegang saham jauh lebih rendah dari yang diberikan Telkomsel kepada Telkom.
Total dividen Telkom pada 2015 hanya mencapai Rp 8,78 triliun.
Pemerintah yang menguasai 52,55% saham Telkom memperoleh dividen sebesar Rp 4,61 triliun dari BUMN telekomunikasi tersebut, sedangkan pemegang saham lain mendapat dividen Rp 4,16 triliun dengan porsi saham 47,45%.
Dilihat dari hal itu, sumbangan dividen Telkom ke kas negara lebih kecil dibanding dividen yang diterima oleh Singtel dari Telkomsel.
Dividen dari Telkomsel masuk ke Telkom sesuai proporsi saham.
Jika langsung ke pemerintah, maka seharusnya bagian untuk pemerintah sekitar Rp 9,09 triliun sesuai porsi saham pemerintah di Telkom.
Nonot menegaskan kebijakan evaluasi berkala tarif interkoneksi justru merupakan keputusan yang pro-rakyat.
Dengan adanya kebijakan tersebut, rakyat bisa menikmati telekomunikasi dengan harga yang lebih terjangkau.
Dalam Undang-Undang No 36 Tahun 1999 Pasal 25 dan PP No 52 thn 2000 Pasal 20-25 dijelaskan, interkoneksi adalah kewajiban bagi setiap network operator untuk saling menyambung jaringannya satu sama lain.
Hal ini bertujuan menjamin hak masyarakat untuk bisa saling menelepon dari dan ke operator yang manapun.
“Dengan interkoneksi yang tidak dihambat, masyarakat bisa bebas untuk memilih menjadi pelanggan dari operator yang mana saja, sehingga persaingan pelayanan bisa terjadi,” ujarnya.
Dia menilai karena interkoneksi bisa digunakan untuk menghambat persaingan, maka negara hadir dengan mewajibkan interkoneksi.
Jadi interkoneksi ini bukan jenis layanan atau tidak termasuk jenis jasa telekomunikasi.
Sekali lagi, interkoneksi adalah menyambungkan antar jaringan supaya pelanggan jaringan yang satu bisa berkomunikasi dengan pelanggan dari jaringan lainnya (tidak terisolasi di satu jaringan).
Di sisi lain, lanjut Nonot, isu kerugian negara yang diangkat ke media akibat dari evaluasi berkala tarif interkoneksi, terkesan berlebihan dan tidak berdasar.
“Isu kerugian negara (akibat evaluasi berkala tarif interkoneksi) itu lebay(berlebihan),” paparnya.
Dia menjelaskan, menurut publikasi dari pelaku pasar modal, rata-rata pendapatan per menit voice dari Telkomsel adalah Rp 105, sehingga tarif interkoneksi hasil perhitungan pemerintah sebesar Rp 204, sudah dua kali lipat dari harga Telkomsel.
Selain itu, laporan tahunan (annual report) 2015 Telkomsel di halaman 101 memperlihatkan angka voice revenue dan minute of usage yang menunjukkan bahwa average revenue per minute (ARPM) sebesar Rp 162. Angka inipun jauh di bawah Rp 204.
“Dari angka ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah atau regulator tidak merugikan Telkomsel yang merupakan anak usaha dari BUMN Telkom,” paparnya.
Sementara itu, Indosat Ooredoo, XL, Three, belum bisa mengirim keuntungan ke negara pemilik (Qatar, Malaysia, dst) karena investasi besar mereka di Indonesia belum untung.
Terkait kekhawatiran terjadinya penurunan pendapatan jika penurunan tarif interkoneksi diberlakukan, menurut dia, itu pasti.
Tetapi hal itu memang harus terjadi dalam rangka mendorong terjadinya persaingan sehat di luar Jawa, agar masyarakat bisa mempunyai pilihan operator mana yang terbaik melayani mereka.
Jika hanya satu operator yang sangat dominan, maka masyarakat tidak bisa memilih.
Dia menegaskan masyarakat berhak menuntut pengurangan biaya interkoneksi dan meminta pula penurunan tarif off-net kepada semua operator, jika ternyata tarif yg diterapkan berlipat lebih tinggi daripada hasil perhitungan pemerintah/regulator.
Utamanya masyarakat luar Jawa yang merasakan adanya perbedaan tarif layanan, karena satuan biaya produksi yang berbeda.
“Dengan demikian, keputusan penurunan tarif interkoneksi hasil perhitungan pemerintah sebesar Rp 204 perlu segera diberlakukan dan kalau bisa diturunkan lagi,” katanya.