TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Kajian Strategis Indonesia (LKSI) meminta pemerintah memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan proses pelaporan pajak, jika ingin program amnesti pajak berhasil.
Ketua LKSI Andreas Tanadjaya mengatakan, pengusaha Indonesia sangat berkeinginan mengikuti program amnesti pajak, tetapi persoalan keamanan dan tidak praktisnya proses pelaporan menghambat wajib pajak keinginannya.
"Garis besarnya sistem perpajakan kita masih njelimet. Jadi pajak itu harus seperti transaksi di pasar modal, beli saham dan jual saham sudah kena pajak, selesai sudah bayar pajaknya," tutur Andreas di Jakarta, Senin (5/9/2016).
Sementara terkait persoalan keamanan, kata Andreas, wajib pajak masih ada yang meragukan kepastian hukumnya karena Undang-Undang Pengampunan Pajak sedang digugat oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Nanti bagaimana jika undang-undang itu dimenangkan oleh penggugat, bagaimana kalau ganti presiden, makanya perlu ada kepastian hukum agar wajib pajak nyaman," tuturnya.
Dalam cacatan Andreas, sekitar 30 persen wajib pajak berani mengami risiko di depan, seperti yang sudah dilakukan Sofjan Wanandi dan James Riyadi.
Kemudian, 40 persen pengusaha atau wajib pajak hanya menjadi pengikut karena sudah ada contoh konglomerat ikut amnesti.
"Kemudian 30 persen itu takut dia, lebih memilih mempertahankan dananya di luar negeri," ucap Andreas.