TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat dan akademisi berkomentar terhadap hasil Kongres Gambut Internasional ke-15 di Kuching, Sarawak, Malaysia, 15-19 Agustus 2016 yang mengatasnamakan 139 pakar dari 20 negara dan 115 institusi akademis, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil. Isu-isu sensitif terkait dampak lingkungan menjadi perdebatan setelahnya.
Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Abdul Rauf mengatakan, kampanye negatif terhadap pengelolaan gambut di Indonesia harusnya didasarkan pada data dan fakta di lapangan.
Sebab selama ini, di Sumatra Utara pengelolaan gambut yang benar telah membuahkan hasil yang menjanjikan bagi sejumlah perusahaan perkebunan.
Untuk itu, ia memprotes atas pemberitaan di berbagai media terkait hasil kongres tersebut menurutnya tidak etis. "Sebagian besar nama-nama tersebut bukan peserta kongres dan tidak berkompetensi untuk mengkritisi keputusan kongres tersebut," ujar Abdul, Senin (10/10).
Menurut Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), DR Sudarsono Soedomo, gambut di Indonesia telah dimanfaatkan turun temurun melalui kearifan lokal oleh banyak suku di Indonesia.
Masalah timbul, ketika asing terusik dengan keberhasilan penanaman sawit di lahan gambut. Sejak itu, berbagai kampanye hitam mulai marak, namun tidak konsisten.
“Sebentar dibilang minyak sawit tidak sehat, sebentar lagi penanaman di gambut tidak sustainable, dan lain sebagainya. Ini yang bikin bingung. Masalahnya pada sawit atau gambut atau memang ingin mematikan industri ini, “ ujarnya.
Sudarsono mengharapkan, pemerintah tidak terpancing oleh hal ini. Indonesia diprovokasi untuk moratorium, sementara negara barat tetap menghasilkan emisi besar-besaran melalui industrinya. Namun, Indonesia tidak pernah protes, malah balik menghantam industri unggulan sendiri.(Noverius Laoli)