TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri kelapa sawit di Indonesia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam 15 tahun terakhir yang didorong oleh naiknya permintaan global terhadap minyak kelapa sawit.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Joko Supriyono mengatakan, pangsa pasar kelapa sawit mencapai 20,9 persen meningkat 4,9 persen jika dibandingkan pangsa pasar di tahun 1990-an.
Kenaikan pangsa pasar minyak kelapa sawit ini menggerus pasar minyak kedelai.
Itu sebabnya, pengusaha CPO banyak mendapat protes dari sejumlah negara penghasil kedelai, kanola, dan bunga matahari seperti Amerika Serikat, Kanada, melalui isu lingkungan.
“Jika ada isu deforestasi, sebenarnya justru minyak kedelai yang membutuhkan pembukaan lahan paling besar," tuding Joko di Jakarta, Rabu (7/12/2016).
Berdasarkan data yang diungkapkan GAPKI, apabila dunia menggantungkan kebutuhannya pada minyak kedelai, hal itu membutuhkan deforestasi atau pembukaan lahan hutan hingga 115 juta hektar pada 2025. Disusul biji bunga matahari yang mencapai 84 juta hektar.
"Jika dihitung-hitung mencapai 115 juta hektar lahan minyak kedelai pada 2025,” jelas Joko.
Joko menambahkan bahwa negara-negara barat memiliki kepentingan untuk melindungi komoditas nasionalnya. Isu deforestasi dan lingkungan pada dasarnya hanya untuk menutupi kepentingan ekonomi antar-negara.
Apabila Indonesia melakukan moratorium kelapa sawit, Joko menilai sudah pasti akan kehilangan pangsa pasar di pasar global sehingga menguntungkan negara-negara penghasil kedelai dan kanola.
“Kelapa sawit hanya ada di negara tropis. Negara barat tidak bisa menghasilkan itu. Lama-lama bisa tergerus oleh komoditas kita dan bayangkan berapa besar angka pengangguran yang mereka punya,” papar Joko.