News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Skema Berbagi Jaringan, Kebijakan Pro-Rakyat

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi BTS

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Wantiknas) Garuda Sugardo melihat revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 dan 53 sangatlah penting bagi perkembangan industri telekomunikasi di Tanah Air.

Pernyataan itu untuk menyikapi adanya pro kontra atas perubahan aturan tersebut. Salah satunya yang menyebut bahwa negara akan dirugikan atas skema network sharing atau berbagi jaringan yang didesain dalam revisi PP 52 dan 53.

Padahal jika dikaji, regulasi tersebut bermaksud memeratakan jangkauan jaringan operator hingga ke pelosok, khususnya daerah di luar Pulau Jawa.

Operator telekomunikasi nantinya bisa menyewa jaringan PT Telkom sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia.

"Saya bilang ke Pak Menteri Rudiantara bahwa ini (network sharing) harus menjadi keniscayaan, karena berbagi itu sikap modern dan pro-rakyat," kata Garuda yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh perintis industri seluler di Indonesia, di Jakarta (23/1).

Kontribusi peningkatan akses ekonomi bagi seluruh masyarakat Indonesia ini akan berdampak besar terlebih  pemerintah ingin bahwa tiap kota di negeri ini menerapkan sistem smart city.

Kota atau daerah yang pengaturan dan tata kelolanya berbasis digital tentunya memerlukan akses tanpa batas ke dunia maya.

Capaian ini tentunya tak bisa menafikkan kebutuhan akan internet dengan kecepatan tinggi serta literasi teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam Seminar yang digelar Indonesia Technology Forum (ITF), akhir minggu lalu, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf sepakat atas pentingnya dampak pemerataan yang bakal diproses melalui perubahan di PP 52 dan 53.

Namun, yang harus digarisbawahi adalah infrastruktur awal besutan PT Telkom sebagai obyek berbagi jaringan.

Maksudnya, harus ada perhitungan yang tepat untuk mengkonversikan biaya yang akan ditanggung saat skema network sharing dijalankan nantinya.

"Pertanyaannya apabila infrastruktur itu di-sharing, bagaimana penggunaan dana yang sekian lama itu bisa diperhitungkan dengan seadil-adilnya bagi para operator," ujar Syarkawi .

Syarkawi juga mengkritisi tarif telepon antar operator telekomunikasi yang berbeda (off net) di sistem interkoneksi.

Dia menuntut pemerintah bisa mengkaji dengan baik dan serius menangani permasalahan itu, sebab masyarakat terkena dampak langsung.

Dengan tarif off net saat ini, konsumen bisa membayar 10 kali lebih mahal.

Buntutnya, lanjut dia, mereka juga harus banyak berbelanja kartu perdana operator-operator tertentu, supaya murah saat menelpon.

Dari sisi efektivitas, hal tersebut sangatlah tidak tepat dan hanya bermuara pada pemborosan.

"Memang operator tertentu akan diuntungkan, namun sama sekali tidak pro-rakyat. Oleh sebab itu kami mendorong agar persaingan semakin baik, tarif off net harus setransparan mungkin," kata Syarkawi.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, berpandangan  penyelesaian revisi ini sangatlah mendesak sebab di tengah teknologi yang berkembang pesat ini, regulasi juga harus cepat mengimbangi.

Seperti diketahui aturan PP 52 dan 53 saat ini hanya fokus menjamah unsur telekomunikasi di ranah telepon dan pesan singkat, padahal tren telekomunikasi sudah berubah ke layanan data.

"Perubahan atas peraturan pemerintah nomor 52 dan 53 yang memungkinkan berjalannya sharing kapasitas sangat diperlukan," ujarnya.

Dengan berbagi jaringan, masyarakat mendapatkan akses lebih merata dan industri menjadi lebih efisien serta ketersediaan infrastruktur telekomunikasi bisa semakin cepat meluas.

Saat ini, sebagian besar KPBU atas pembangunan infrastrukur telekomunikasi di luar pulau jawa (80 persen) dilakukan oleh satu operator telekomunikasi.

"Pasar telekomunikasi seluler Indonesia saat ini dikuasai (market leader) oleh satu operator, yakni Telkomsel (sekitar 37 persen pangsa pasar). Di bawah Telkomsel terdapat dua operator, yakni Indosat Ooredoo (23 persen) dan XL Axiata (14 persen)," kata Agus.

Di bawah tiga operator tersebut terdapat empat operator lagi, seperti Ceria, 3 Hutchinson, Smartfren, dan Bakrie Telecom.

Struktur pasar yang demikian mengakibatkan pasar telekomunikasi seluler bersifat oligopoli.

"Kondisi ini diiringi adanya keengganan untuk berbagi kapasitas (sharing capacity) dengan operator telekomunikasi lain, selain operator telekomunikasi dalam grupnya," lanjutnya.

Oleh karenanya, dibutuhkan regulasi mengatur persaingan usaha yang memastikan peningkatan manfaat bagi para pemangku kepentingannya. Salah satunya melalui revisi PP 52 dan 53.

Hal ini juga sejalan dengan visi pemerintah 2020 untuk menjadi pasar ekonomi digital terbesar di Asean.

"Ini harus segera teralisasi, sehingga selain terwujud pemerataan akses di seluruh Indonesia, masyarakat sebagai konsumen juga mendapatkan harga yang kompetitif dan layanan yang lebih baik," pungkasnya.

Pengamat Persaingan Usaha Bambang Adiwiyoto juga menilai skema berbagi jaringan memiliki tujuan akhir untuk memangkas harga layanan pada konsumen.

Skema itu memungkinkan operator-operator bermitra untuk menggunakan jaringan secara bergantian. Sehingga keliru jika dikatakan bentuk kerjasama itu merugikan negara, sementara hal tersebut memberi keuntungan pada rakyat Indonesia dengan tarif murah.

"Tujuan negara kan untuk menyejahterakan rakyat. Kalau tarif murah itu ya yang sejahtera rakyat. Yang jelas rakyat harus makmur," ujarnya.

Terlebih lagi, ada pemanfaatan maksimal dari jaringan sebagai fasilitas yang disewakan negara pada operator untuk melayani masyarakat.

"Malah kalau nganggur tidak terpakai, itu yang justru jadi kerugian negara, karena tidak terpakai. Kerugian ekonomi," tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini