Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Freeport Indonesia akan kembali melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah pekerjanya di Papua sebagai langkah efisiensi untuk mengurangi beban perusahaan karena tidak bisa lagi mengekspor mineral olahan (konsentrat).
President dan CEO Freeport-McMoRan Inc, Richard C Adkerson mengatakan, akibat tidak bisa melakukan ekspor konsentrat maka perusahaan menurunkan produksi yang sangat tajam dan menghentikan pengeluaran investasi selanjutnya.
"Pengurangan karyawan, kita-kira di bawah 10 persen karyawan ekspratriat yang bekerja, ekspratriat kami bagian kecil dari karyawan nasional yang mencapai 98 persen," tutur Richard di Jakarta, Senin (20/2/2017).
Menurut Richard, langkah pemangkasan karyawan Freeport Indonesia bukan sebagai alat untuk menegosiasi pemerintah, perihal persoalan persoalan perubahan status dari kontrak kerja (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Baca: Status Kontrak Karya Mengambang, Pekerja Asing Mulai Tinggalkan Freeport
"Ini bukan untuk bernegosiasi ke pemerintah, tapi memang kami mengharuskan mengurangi biaya-biaya yang dapat diterima secara keuangan, saya berharap ada solusi jalan keluar," papar Richard.
Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini Freeport Indonesia memiliki 32 ribu pekerja, dimana 12 ribu pekerja tetap dan sisanya merupakan karyawan kontrak.
"Kami telah membangun suatu kegiatan usaha dengan 32 ribu tenaga kerja Indonesia. Namun, peraturan-peraturan pemerintah saat ini mewajibkan kontrak karya diakhiri untuk memperoleh izin ekspor, hal ini tidak dapat kami terima," tutur Richard.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan meminta PT Freeport Indonesia tidak menggunakan isu pemecatan karyawan dalam mencapai keinginannya.
Baca: Freeport Beri Waktu 4 Bulan Negosiasi, Jika Gagal Akan Gugat ke Badan Arbitrase Internasional
Menurut Jonan, rencana Freeport ke badan arbitrase internasional adalah langkah hukum yang menjadi hak siapapun, namun pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapapun secara hukum, karena hasil dampaknya akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan.
"Namun langkah itu jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan pemerintah," kata Jonan.
Jonan menilai, korporasi global selalu memperlakukan karyawannya sebagai aset yang paling berharga dan bukan dijadikan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata.
"Pemerintah telah dan akan terus berupaya maksimal mendukung semua investasi di Indonesia baikinvestasi asing maupun investasi dalam negeri tanpa terkecuali," papar Jonan.