TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Perkembangan bisnis e-commerce atau jual beli online di Indonesia meningkat drastis sejak beberapa tahun belakangan. Hal ini karena Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengguna internet terbesar di dunia.
Data dari Social Research & Monitoring soclab.comenunjukkan, pada 2015 pengguna internet di Indonesia mencapai 93,4 juta dengan 77 persen di antaranya mencari informasi produk dan belanja online. Pada 2016, jumlah online shopper mencapai 8,7 juta orang dengan nilai transaksi sekitar 4,89 miliar dolar AS.
Agus Tjandra, Vice Chairman & Foreign Relation Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) saat berbincang dengan Warta Kota pada Sabtu (18/2/2017) malam. mengatakanm tidak heran, potensi bisnis yang menggiurkan dari e-commerce ini membuat banyak orang mencoba peruntungan membangun bisnis online.
"Pertumbuhannya sangat luar biasa. Diiringi pula peningkatan pembayaran dengan e-money dimana penggunaan kartu kredit untuk belanja meningkat hingga 50 persen dibanding lima tahun lalu. Sisanya masih menggunakan transfer antar-bank," katanya.
Tetapi, sayangnya, manisnya bisnis ini justru lebih banyak dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Agus mencontohkan, banyaknya perusahaan e-commerce di Indonesia yang pemiliknya sudah berpindahtangan ke pihak pemodal asing.
"Ini sebenarnya sangat disayangkan. Banyak orang Indonesia yang pintar bahkan bekerja keras membesarkan bisnis e-commerce. Tapi karena bisnis ini butuh modal besar, akhirnya tergoda juga dengan rayuan pemodal asing. Akhirnya kepemilikan bisnis berpindah tangan," jelas pria yang telah puluhan kali menjadi speaker di bidang e-commerce di sejumlah negara ini.
Agus memahami kondisi ini. Sebab, ia tahu betapa menguras keringat membesarkan bisnis e-commerce hingga sampai ke papan atas. Kata dia, modal yang dibutuhkan sangat besar. Hal ini berdasarkan pengalamannya membangun Lojai.com, bisnis e-commerce yang dimilikinya.
"Wajar jika inisiator-inisiator asal Indonesia kemudian tergiur dengan tawaran dari pemodal asing. Sebab modal yang dibutuhkan sangat sedikit. Sementara kontribusi pemerintah Indonesia dalam hal ini masih minim," katanya.
Menggapa pemodal rela gelontorkan triliunan rupiah untuk mensubsidi perusahaan e-commerce? Agus bilang hal ini wajar. Bahkan, katanya, yang terlihat di permukaan pemodal seolah-olah rugi besar ketika melakukan subsidi itu.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Agus mencontohkan, ketika sebuah situs belanja memberikan diskon besar untuk produk tertentu yang diperkirakan akan booming. Pemberian diskon tentu menyebabkan perusahaan rugi di awal. Namun keuntungan besar menanti di belakang.
"Kita contohkan saja amazon.com atau alibaba.comketika misalnya memberikan diskon Rp1 juta untuk produk tertentu. Produknya laris manis sampai terjual sampai satu juta unit. Kelihatannya dia rugi Rp1 triliun. Tapi coba tengok nilai sahamnya, justru bisa untung puluhan kali lipat dari angka subsidi itu. Mereka bahkan sering mendapatkan omzet ratusan triliun dalam sehari. Jadi tidak ada ruginya buang satu atau dua triliun demi untung puluhan bahkan ratusan triliun," terangnya.
Maka Agus menilai inilah saatnya perusahaan start-up maupun pelaku usaha e-commerce Indonesia berdiri dan bangkit berusaha menjadi raja di negeri sendiri. Agus mengatakan banyak usaha yang bisa dilakukan untuk menghindari perusahaan dikuasai oleh pihak asing. Salah satunya dengan menggandeng pemodal-pemodal lokal.
"Saya bisa mengklaim lojai.com menjadi satu-satunya perusahaan e-commerce besar yang belum dimiliki asing. Saya tetap ingin perusahaan ini besar di tangan orang Indonesia," jelasnya. (Feryanto Hadi)