Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai, sikap PT Freeport Indonesia membingungkan dalam menanggapi regulasi yang mengharuskan perusahaan modal asing asal Amerika Serikat itu mengikuti ketentuan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk menggantikan perjanjian Kontrak Karya yang dianggap merugikan Indonesia.
Menurut Hikmahanto, kegaduhan terkait Freeport semuanya berpangkal pada Pasal 170 Undang-undang (UU) Minerba yang menyebutkan pemegang Kontrak Karya (KK) wajib melakukan pemurnian di dalam negeri alias tidak bisa mengekspor material mineral mentah ataupun konsentrat.
Kewajiban itu seharusnya sudah jatuh tempo di tahun 2014.
Pada saat itu Freeport dan penegang KK meminta perpanjangan karena tidak siap. Akhirnya mereka diberikan perpanjangan waktu 3 tahun dengan catatan harus membayar bea keluar.
Di Januari 2017 perpanjangan itu sudah jatuh tempo alias sudah habis. Namun Freeport belum juga membangun smelter meski duitnya sudah ada.
Baca: Freeport Lebih Pilih Toyota Land Cruiser 70-Series untuk Kendaraan Operasinal, Apa Ya Alasannya?
Alasan Freeport belum membangun karena meminta kepastian perpanjangan setelah 2021.
"Pemerintah kan pada posisi yang tidak diuntungkan. Kalau dijalankan Pasal 170 maka akan ada kerugian. Kalau tidak dijalankan pasal 170 maka pemerintah dianggap oleh rakyatnya melanggar UU Minerba yang notabene bisa saja di-impeach. Freeport ini mau berbisnis di Indonesia atau berperkara," ujar Hikmahanto.
Pemerintah kemudian memberikan solusi, dengan memberikan alternatif ke pemegang KK. Bila mereka tetap berpegang pada KK itu boleh asalkan tidak melanggar Pasal 170 UU Minerba.
Tapi lebih lanjut, kalau mereka mau tetap ekspor tentu boleh tapi harus bersedia merubah diri menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Terkait IUPK ini sudah diatur dalam Pasal 102 dan 103. Meski ada keharusan hilirisasi namun tidak ada ketentuan waktu 100% pemurniannya kapan.
"Nah kalau melihat itu kan sebenarnya pemerintah sudah berbaik hati untuk beri solusi bagi pemegang KK. Pemerintah tidak diskriminatif," kata Hikmahanto.
"Ada yang tetap pegang KK tapi mereka bangun smelter seperti Vale. Tapi ada juga yang mengubah diri menjadi IUPK seperti PT Amman (dulu Newmont)," jelasnya lebih lanjut.
Bahkan pemerintah harus berkorban karena dikritik. Ditambah lagi PP 1 2017 dibawa ke MA untuk diuji materi.
"Jadi sebenarnya Freeport ini mau berbisnis di Indonesia atau berperkara?" demikian ia kembali mempertanyakan sikap Freeport.
"Kalaulah Freeport mengancam untuk membawa Indonesia ke Arbitrase, ini arbitrase yang mana? ICSID kah atau commercial arbitration yang diatur dalam KK?" lanjutnya.
Kalau ke commercial arbitration, kata dia, pemerintah pun punya hak untuk menggugat Freeport. Karena Freeport telah lakukan wanprestasi terkait masalah pemurnian dan divestasi.
Penerimaan dari Freeport
Di tempat berbeda, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan, penerimaan negara dari PT Freeport Indonesia sangat sedikit dibanding dengan penerimaan dari sektor lainnya.
Pernyataan itu disampaikan Jonan menanggapi ancaman Freeport McMoran Inc yang berniat menggugat Pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional.
Perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu menganggap Pemerintah Indonesia berlaku tak adil lantaran menerbitkan aturan yang mewajibkan perubahan status kontrak karya (KK) ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
"Penerimaan negara dari cukai rokok itu tahu enggak? Cukai rokok di Indonesia berapa sekarang? Rp 139,5 triliun satu tahun. Nah, Freeport ini yang bayar Rp 8 triliun saja rewel banget," katanya saat mengisi Kuliah Tamu dan Workshop Capasity Building Energi Baru Terbarukan (EBT) oleh Pemuda Muhammadiyah di Hall Dome Universitas Muhammadiyah Malang, Selasa (21/2/2017), seperti dikutip dari Kompas.com.
Jonan menyebutkan, PT Freeport Indonesia telah membayarkan royalti dan pajaknya ke negara sebesar Rp 214 triliun selama 25 tahun. Dengan begitu, Freeport memberikan kontribusi Rp 8 triliun per tahun untuk penerimaan pemerintah.
Jonan juga membandingkannya dengan devisa negara dari tenaga kerja Indonesia (TKI) yang mencapai Rp 144 triliun pada tahun 2015. Angka itu, menurut dia, jauh lebih tinggi dibanding dengan yang didapat dari Freeport.
Ia juga membandingkannya dengan PT Telkom yang menyumbang penerimaan negara sebanyak Rp 20 triliun.
"Kalau PT Telkom bayar ke negara, pajak dan sebagainya itu Rp 20 triliun. Freeport hanya bayar Rp 8 triliun. Jadi, tolong kalau diprotes-protes, saya terima kasih. Bapak-bapak, Saudara-saudara, kita juga kasih tahu ke Freeport, tolong kalau ribut yang proporsional," ujarnya.
Jonan juga menyampaikan nilai jual Freeport yang tidak lagi mahal. Menurut dia, nilai jual Freeport dengan segala tambang yang ada di seluruh Indonesia hanya sebesar 20 miliar dollar AS.
Angka itu jauh lebih rendah dibanding nilai jual PT Telkom Indonesia yang mencapai 29 miliar dollar AS dan Bank Central Asia yang memiliki nilai jual yang sama. Ia juga membandingkannya dengan nilai jual BRI yang mencapai 21 miliar dollar AS.
"Freeport sudah tidak besar. Ini bukan menistakan lho ya. Ini fakta," ujarnya. (*)