News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

5 Perusahaan Keramik Gulung Tikar Gara-gara Harga Gas Tinggi

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tingginya harga gas yang masih bertengger di angka lebih dari 9 dollar AS Million Metric British Thermal Unit (MMBTU), menelan korban tutupnya 5 pabrik keramik.

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko mengungkapkan hal tersebut kepada KompasProperti, Kamis (16/3/2017).

Kendati enggan merinci nama perusahaan atau pabrik tersebut, Hendrata menyebut dua pabrik terpaksa menutup usahanya pada 2015, dan tiga lainnya pada tahun lalu.

"Ini akibat harga gas masih tinggi. Idealnya adalah 6 dollar AS MMBTU. Harga gas sangat memengaruhi efisiensi dan produktivitas," ujar Hendrata.

Pelaku industri keramik, kata Hendrata, sejatinya mengharapkan harga gas turun begitu Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) III terbit pada Oktober 2015.

PKE III ini mencakup tiga wilayah kebijakan, pertama, penurunan tarif listrik dan harga BBM serta gas, kedua mengenai perluasan penerima kredit usaha rakyat (KUR), dan ketiga tentang penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.

"Seharusnya penurunan harga gas itu diberlakukan sejak tahun 1 Januari 2016. Namun hingga kini tak kunjung terlaksana," sebut Hendrata.

Padahal, jika harga gas turun, bisa menekan biaya produksi keramik sangat signifikan. Produktivitas pun akan meningkat.

Untuk diketahui, energi gas pada industri keramik menelan 30 persen dari total komponen biaya produksi.

Ketua Asaki Elisa Sinaga menyatakan, pelaku industri keramik tidak meminta harga gas yang murah, tetapi lebih kepada harga yang berdaya saing.

Sebagai contoh, antara Medan dengan Malaysia, ketimpangan harga gas terlalu jauh. Di Malaysia, harga gas hanya 6 dollar per MMBTU.

Sementara di Medan, harga gas sebelum turun bisa 12 dollar AS per MMBTU. Elisa mempertanyakan bagaimana industri keramik bisa berdaya saing jika biaya produksi saja sudah tinggi.

"Mengapa kita tidak mau turunkan di tengah kondisi ingin ekspor, tapi kemampuan daya saing rendah, salah satunya harga energi yang demikian mahalnya," sebut Elisa.(Hilda B Alexander)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini