News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Terapkan Teknologi Semua Pihak Tidak Ada yang Dirugikan kata Katon Bagaskara Soal Penarikan Royalti

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Katon Bagaskara

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mekanisme penarikan royalti lagu dari pengusaha karoke secara borongan, berapapun tarifnya per ruang per tahun, oleh pemerintah lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), bukan merupakan sistem yang tepat, bahkan rawan korupsi.

Sebaiknya, pemerintah menerapkan sistem yang canggih, mudah dan tidak mahal, dan sudah diterapkan di negara lain, yakni berbasis teknologi sehingga pungutan royalti dari perusahaan karoke, berbasis pada setiap lagu yang diputar.

Dengan demikian, pembagian royalti kepada yang berhak dapat akurat, dan di sisi lain perusahaan karoke juga tenang karena membayar royalti sesuai dengan rumusan yang mereka gunakan atau jual.

“Saya tidak setuju dengan sistem royalty borongan per ruang per tahun, Rp50ribu atau berapapapun. Karena dengan mekanisme itu perhitungan royalti yang nantinya dibagikan kepada setiap pemegang royalti juga abu-abu. Kalo sudah abu-abu berpotensi korupsi,” ungkap musisi sekaligus pencipta lagu, Katon Bagaskara mengomentari adanya kontroversi tarif royalti yang dikenakan kepada rumah karoke, demi menegakkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), Selasa (21/3/2017).

Menurut Katon, jika semua pihak punya niat baik, sebenarnya bisa digunakan teknologi yang bisa menghitung berapa lagu dan lagu apa saja yang diputar di ruang karoke, setiap hari selama setahun. Malaysia dan Singapura juga sudah menerapkan teknologi itu sekitar 10 tahun.

“Dengan menerapkan teknologi ini semua perhitungan menjadi detil dan transparan, jelas lagu apa saja dan berapa kali yang diputar. Dengan tarif royalti per lagu misalnya Rp 200 sekali putar, maka nantinya perhitungan penarikan dan pembagian royaltinya juga jelas, dan semua pihak tidak ada yang dirugikan,” ujar Katon.

Untuk menggunakan teknologi itu di tempat karoke, lanjut Katon, juga tidak sulit. Pun tidak mahal dibanding dengan potensi ekonomi yang bisa didapatkan pemerintah.

Biaya sewa teknologi itu hanya sekitar Rp 50 Miliar per tahun, sementara potensi pendapatannya Rp 3,1 triliun. Pemerintah bisa menyediakan teknologi itu dan kemudian bisa mendapatkan lebih banyak pendapatan dari yang dikeluarkan.

“Pengusaha dan pemerintah tinggal duduk bersama, jadi tidak perlu berdepat dan berantem. LMKN ini sudah dua tahun, seharusnya bisa menerapkan sistem yang tidak rapuh dan abu-abu, Jika berantem terus nanti tidak jalan-jalan,” jelas pelantun lagu Negeri di awan ini.

Pakar Hukum HAKI dair Universitas Diponegoro (Undip), Lapon Leonard Tukan juga mengkritik mekanisme penarikan royalti lagu dari pengusaha karoke secara borongan itu, yang harus di awal tahun sepeti yang dikeluhkan pengusaha.

Menurutnya, seharusnya pembayaran ada kelongaran dan jangan dipaksakan harus di awal tahun, Sebab operasional dan kondisi keuangan pelaku usaha juga harus dipahami.

“Soal mekanisme penarikan harus ada kelonggaran. Anggaran pemerintah saja sulit untuk melaksanakan program di awal tahun. Ini tidak bisa dipaksakan kepada swasta untuk membayar awal tahun,” ujar Leonard terkait adanya keberatan pelaku usaha karoke terkait adanya ketentuan pembayaran royalti yang harus dibayar dimuka pada 2017.

Ia menegaskan, eksistensi dan peran Lembaga penarik royalti (Lembaga Manajemen Kolektif—red) sangat penting untuk bekerja secara baik dan maksimal, melakukan komunikasi secara intens dengan pelaku usaha dalam mengimplementasikan aturan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Terkait besaran tarif royalti, lanjut Leo, Pemerintah melalui Lembaga Manajemen Kolektif, harus dan tentu sudah melakukan perhitungan mengenai besaran royalti yang ditentukan.

Sementara pengusaha dimanapun, di sektor apapun, selalu mencari jalan usaha yang murah atau efisien guna mendapatkan profit dan menjaga kelangsungan usaha.

Di luar negeri, lanjut Leo, penarikan royalti kepada pengusaha karoke juga diberlakukan dengan baik sehingga pemilik karya lagu bisa terlindungi dan sejahtera.

Dengan demikian gairah untuk melakukan kreativitas khususnya di bidang lagu juga berkembang. Di lain sisi, para pengusaha juga terjamin dan terilindungi kelangsungan usahanya.

“Di Amerika, bahkan di Singapura dan Malaysia, perlingungan terhadap HAKI ini diimplementasikan dengan baik. Industrinya bisa jalan, pemilik karya juga bisa terlindungi. Kita sudah ketinggalan,” tuturnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini