TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kasus Freeport menjadi momen untuk meletakkan dasar-dasar reformasi fiskal, sehingga menjamin kesinambungan fiskal dan investasi, demikian disampaikan Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Dalam keterangan tertulisnya, Yustinus mengemukakan bahwa, “Investasi menuntut integrasi kebijakan yang menjadi terciptanya 3C (certainty, clarity, consistency) di bidang fiskal, karena keputusan investasi juga bergantung pada kebijakan pro-bisnis, lingkungan bisnis yang kompetitif, stabilitas politik dan regulasi, kejelasan dan kepastian hukum, serta kebijakan fiskal yang menjadi faktor penentu besaran investasi dan tingkat imbal hasil.”
Faktanya, masih terdapat beberapa disinsentif fiskal yang dirasakan oleh industri hulu migas dan tambang. Salah satu masalah utama adalah ketiadaan ketentuan assume and discharge yang menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian hukum (stabilization clause).
“Kasus yang menarik perhatian publik saat ini adalah dinamika PT. Freeport Indonesia yang berawal pada diterbitkannya PP No. 1/2017. Pada prinsipnya, investor membutuhkan jaminan kepastian akan iklim bisnis dan investasi di masa mendatang (fiscal stabilization clause) karena akan berinvestasi dalam jumlah yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang,” ujar Yustinus.
Klausul ini berarti kebijakan fiskal berperan sebagai instrumen yang mampu memberikan kepastian hukum, mendukung iklim investasi, mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktivitas, konsisten dan stabil, melalui administrasi yang sederhana, mudah dilaksanakan dan murah, atau cost of compliance yang efisien.
Pertimbangannya adalah sektor ini membutuhkan investasi yang sangat besar dan jangka waktu yang panjang sehingga memiliki potensi risiko yang tinggi.
Salah satu poin penting yang menjadi perbedaan pendapat antara Pemerintah dan Freeport adalah klausul nail down vs prevailing. Pemerintah berpegang pada mandat UU Minerba, bahwa seluruh klausul perpajakan di rezim perijinan (IUP/IUPK) adalah prevailing, yaitu dinamis, mengikuti perubahan ketentuan yang berlaku.
Sedangkan Freeport tetap meminta sistem nail down, yaitu peraturan yang berlaku adalah peraturan saat kontrak ditandatangani atau perijinan diberikan (statis). Dalam konteks Fiscal Stabilization Clause, tuntutan PTFI dapat dipahami sebagai hal yang wajar.
“Sistem nail down juga tidak tepat jika dipahami semata-mata sebagai keuntungan perusahaan karena tarif yang rendah, karena dalam konteks Kontrak Karya, perusahaan justru membayar PPh 35%, jauh di atas tarif yang berlaku yaitu 25%. Terhadap jenis pungutan negara lainnya, bahkan pada 2014 tercapai kesepakatan untuk menaikkan tarif royalti dan membayar bea keluar,” kata Yustinus dalam keterangan persnya, Kamis (23/3/2017)
Lebih lanjut Yustinus memaparkan, di sisi lain, Pemerintah perlu mendapat jaminan bahwa proyek yang dijalankan menguntungkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Di titik inilah Pemerintah dan Freeport memiliki ruang negosiasi yang terbuka lebar dan saling menguntungkan.
Pemerintah tetap dapat memberikan pengecualian berupa pemberlakuan sistem nail down bagi perusahaan yang berinvestasi dalam jumlah signifikan dan dalam jangka waktu panjang, dan tetap membuka ruang negosiasi bagi penyesuaian tarif pungutan negara apabila terjadi perubahan kondisi ekonomi yang membaik dan perubahan kebijakan yang lebih kondusif. Hal ini juga tidak bertentangan dengan Pasal 169 UU Minerba dan bahkan selaras dengan praktik terbaik di dunia internasional tentang fiscal stabilization clause.
“Kita dapat mencapai solusi konkret yang lebih komprehensif, tanpa perlu memperhadapkan kepentingan nasional dengan kepentingan bisnis, karena keduanya adalah dua sisi yang sama pentingnya bagi pembangunan nasional,” tegasnya.