TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelaku usaha karoke menyambut baik jika pemerintah lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menggunakan alat teknologi dalam perhitungan royalti lagu yang harus dibayarkan, seperti yang dilakukan oleh negara-negara lain.
Selain lebih detil dan riil, perhitungan dengan menggunakan teknologi juga lebih transparan sehingga royalti yang dibayarkan pelaku usaha bisa tepat sasaran.
“Pelaku usaha karoke tentu lebih legowo dan sama-sama happy jika perhitungannya menggunakan teknologi seperti pada industri karoke di luar negeri. Kita membayar sesuai dengan jumlah lagu yang kami putar, lebih fair, lebih transparan dan royaltinya benar-benar sampai ke yang berhak,” ungkap Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Aspija), Erick Halauwet saat dihubungi di Jakarta, Kamis (23/3/2017).
Menurutnya, dasar perhitungan yang berlakukan LMKN saat ini, yaitu dengan sistem borongan, Rp 50 ribu perjam untuk karoke eksektuif, Rp 20 ribu untuk karoke keluarga dan Rp15 ribu untuk tanpa ruangan, kurang berdasar dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Terutama terkait lebih mahalnya karoke ekaekutif
“Karoke eksekutif hanya ramai di akhir pekan. Jika harus bayar per heri per ruangan Rp50ribu tentu tidak logis. Apalagi belum ada sosialisasi kepada pengusaha karoke. Perbedaaan penentuan tarif tersebut juga rancu karena ijin karoke dari pemerintah DKI Jakarta juga tidak tidak dikenal dengan istilah eksekutif karaoke room,” jelas Erick.
Karena itu, selain meminta pengertian kepada LMKN memberikan keringanan pembayaran royalti khususnya untuk 2016, ke depan, pihaknya juga mendorong otoritas tersebut menerapkan teknologi dalam perhitungannya.
Seperti yang sudah diterapkan di negara-negara maju sejak sekitar 10 tahun seperti Jepang, Korea, bahkan Malaysia dan Singapura.
“Tinggal dipelajari saja dan diadopsi teknologi yang sudah diterapkan di luar negeri. Karena perhitungan royalti yang dikenakan pada industri karoke substansinya adalah untuk karya lagu yang diputar,” tandas Erick.
Sebelumnya, musisi sekaligus pencipta lagu Katon Bagaskara mengatakan, mekanisme penarikan royalti lagu dari pengusaha karoke secara borongan, berapapun tarifnya per ruang per tahun, oleh pemerintah lewat LMKN, merupakan sistem lama yang rapuh, abu-abu dan rawan korupsi.
Demi menegakkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), sebaiknya diterapkan sistem berbasis teknologi, yang sebenarnya mudah dan tidak mahal sekaligus memperbesar peluang pendapatan negara.
Di sisi lain, pembagian royalti kepada yang berhak dapat lebih akurat, dan perusahaan karoke juga ada kepastian membayar royalti secara fair.