TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendesak pemerintah mengawasi dan mengatur peredaran minyak goreng bekas atawa jelanta.
Peredaran minyak goreng bekas ini sudah mencapai sekitar 18% hingga 20% dari total peredaran minyak goreng curah di pasaran yang pada tahun 2016 sebesar 3,56 juta ton.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat Sinaga mengatakan minyak jelanta ini merupakan bekas minyak goreng dari hotel, warung-warung besar dan restoran cepat saji.
Sebagian besar minyak goreng bekas ini masuk ke minyak curah, baik itu dengan cara dicampur maupun tidak. Kondisi ini secara otomatis membatasi peredaran minyak goreng murni dari industri yang masih asli.
"Minyak goreng bekas ini juga menimbulkan banyak penyakit seperti parkinson dan stroke," ujarnya, Senin (27/3/2017).
GIMNI mendesak agar pemerintah membuat aturan untuk mengatur peredaran minyak goreng bekas ini supaya tidak merugikan industri minyak goreng curah dan masyarakat.
Selain itu, ia juga membantah industri sebagai penyebab kenaikan harga minyak goreng curah di pasaran.
Selama ini produsen telah menjual minyak goreng curah sesuai dengan instruksi Kementerian Perdagangan (Kemdag). Ia menilai, seharusnya harga minyak goreng curah di pasar sudah turun.
"Tapi kalau di pasar harga masih tinggi, itu sudah di luar kontrol kami, harusnya pemerintah meningkatkan pengawasan," terangnya.
Menurutnya, kalau pemerintah serius ingin menurunkan harga minyak gorengcurah, maka pemerintah harusnya tidak memungut PPN 10% dari penjualan.
PPN yang dinilai besar ini juga turut membuat harga minyak goreng curah tinggi.
Dia menjamin bila pemerintah menjadikan PPN lebih kecil seperti di Singapura hanya 3% atau pun membuat PPN 0%, maka otomatis harga akan di bawah yang ditetapkan pemerintah.
Reporter: Noverius Laoli