TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan memastikan kesiapannya untuk menangani perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk kalangan aparatur sipil negara (ASN).
Hal tersebut ditegaskan, Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan, E Ilyas Lubis, yang mengaku sudah sejak lama pihaknya telah mempersiapkan segala sesuatu terkait pengalihan perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk kalangan ASN seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
"Sudah awal berdirinya BPJS Ketenagakerjaan (thn 2014) dibicarakan untuk menangani perlindungan PNS/ASN, sehingga BPJS Ketenagakerjaan sudah mempersiapkan dengan berkoordinasi kepada pihak terkait untuk pengolahan data, pengembangan sistem, bahkan persiapan hardware yang dibutuhkan. Jadi intinya kita sudah sangat siap untuk melindungi PNS/ASN, apalagi tenaga honorer," ujar E. Ilyas Lubis saat dikonfirmasi, di Jakarta, Selasa (28/3/2017).
Berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia hingga tahun 2017 ini sendiri tecatat sebanyak 4,5 juta.
Dengan bergabungnya PNS menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan, diharapkan skema perlindungan jaminan sosial kepada tenaga kerja berjalan sesuai dengan UU 40/2004 dimana program jaminan sosial diselenggarakan oleh Badan hukum publik yang dibentuk oleh U.U, bukan berbentuk PT.
BPJS Ketenagakerjaan sendiri menargetkan jumlah kepesertaan sepanjang 2017 ini bisa menembus angka 25,2 juta tenaga kerja, baik tenaga kerja penerima upah maupun tenaga kerja non penerima upah.
E Ilyas Lubis menambahkan, sebenarnya pernah ada beberapa pemerintah daerah (Pemda) yang telah mendaftarkan para PNS-nya menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. "Karena melihat kesiapan yang sudah kita jalankan selama ini, pernah beberapa pemda yang ikut bergabung dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan," ungkapnya.
Dikonfirmasi terpisah, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Irgan Chairul Mahfiz mendesak pemerintah untuk kembali menjalankan amanat UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) serta UU No 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Menurut Irgan, munculnya kerancuan terkait siapa yang berhak menangani perlindungan jaminan sosial ketenagakerjaan untuk kalangan ASN, dikarenakan pemerintah sendiri tidak konsisten dalam menerbitkan peraturan pemerintah terkait perlindungan jaminan sosial untuk ASN.
Salah satunya seperti yang tertuang dalam PP Nomor 70/2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara.
"PP itu (PP Nomor 70/2015/red) tidak selaras dengan UU SJSN dan BPJS, seharusnya PP bisa menyesuaikan diri dengan semangat UU di atasnya, itu menunjukan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan regulasi yang telah disepakati," tegasnya.
Sebelumnya, Pengamat Jaminan Sosial, Hotbonar Sinaga juga menilai, implementasi program jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia banyak melenceng dari yang diamanatkan oleh UU SJSN serta UU BPJS.
Hal itu bisa dilihat dari diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 70/2015 yang memberi kewenangan PT Taspen (Persero) mengelola program JKK dan JKM bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Terbitnya PP Nomor 70/2015 tersebut dinilai telah menabrak tiga undang-undang yaitu UU SJSN, UU BPJS dan UU ASN (Aparatur Sipil Negara).
“Pelanggaran terhadap UU SJSN dan BPJS tentunya bisa terjadi karena kurangnya kesadaran pemerintah dalam implementasi UU tersebut. Hasilnya, regulasi yang bertolak belakang dengan UU SJSN dan BPJS pun bermunculan,” tegas Hotbonar.