TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) hari ini siap ajukan gugatan hukum ke Mahkamah Agung (MA) perihal penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Tak hanya itu, gugatan juga dilayangkan atas terbitnya dua aturan turunannya yaitu yakni Peraturan Menteri ESDM No. 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri Permen ESDM No. 6 /2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Pelaksanaan Penjualan Mineral Ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
Pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanagara Ahmad Redi yang tergabung dalam koalisi tersebut, Kamis (30/3/2017) menyatakan, gugatan diajukan hari ini pukul 14.00 WIB ke MA.
Poin gugatan yang akan dilayangkan utamanya dianggap menyalahahi Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Pertama, adanya relaksasi ekspor untuk konsentrat dan mineral mentah selama lima tahun ke depan untuk pemegang Izin usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK).
Menurut Redi, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 102, 103, dan Pasal Pasal 170 UU Minerba serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VII/2014.
Kedua, proses perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dengan seketika.
Menurutnya, dalam UU Minerba, ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum ada perubahan status tersebut. Yakni, mulai dari Penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang harus disetujui DPR hingga penetapan WIUPK yang harus ditawarkan terlebih dahulu pada BUMN.
"Regulasi tersebut tidak konsisten dengan kebijakan hilirisasi mineral sesuai nawa cita Jokowi-JK. Tidak sesuai dengan UU Minerba dan Putusan MK. Dan, ketiga aturan tersebut diskriminatif," tandasnya.
Reporter: Pratama Guitarra