TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri penyiaran saat ini dinilai sedang mengalami masa-masa kritis ini menjelang pengesahan RUU Penyiaran 2017 di DPR RI.
Hal ini karena polemik yang dimunculkan Menkominfo Rudiantara yang berusaha mengenakan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal Penyiaran (USO) yang dihitung dari pendapatan kotor lembaga penyiaran swasta (LPS) per tahun.
Usulan ini muncul didasari fakta bahwa setoran PNBP LPS kepada negara dirasa masih sedikit jika dibandingkan dengan setoran PNBP dari industri telekomunikasi.
Menurut Kamilov Sagala, Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII), hal tersebut merupakan sebuah perbandingan yang blunder dan memunculkan pemahaman yang salah karena Menkominfo mengabaikan nature dan perbedaan-perbedaan mendasar pada kedua industri tersebut.
Kamilov memaparkan masalah lain yang menjadi sumber perdebatan dalam RUU Penyiaran 2017 terkait penetapan LPP Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) menjadi penyelenggara tunggal penyiaran multipleksing digital atau lebih dikenal dengan Single Mux.
Pemerintah dan DPR harus benar-benar menaruh telinga dan perhatiannya pada masyarakat dan pemain dalam industri Penyiaran bila ingin merumuskan dan memutuskan aturan baru terkait industri tersebut.
Hal ini untuk mencegah matinya iklim kompetisi pada industri penyiaran kelak.
"Ada sejumlah risiko yang harus ditanggung semua pihak, baik itu LPS, pemerintah dan masyarakat bila kelak RUU Penyiaran disahkan dan menetapkan LPP RTRI menjadi multiplekser tunggal," ungkapnya, Jumat (9/6/2017).
Diantaranya, risiko bakal bertentangan dengan semangat demokrasi yang dijunjung tinggi di negara ini, seperti dinyatakan di huruf b Poin Menimbang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
"Di sana disebutkan, "demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasa yang wajar.”
Selain itu juga berisiko merusak iklim kompetisi dan persaingan usaha yang sehat dan wajar serta bertentangan dengan tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kamilov Sagala juga menilai, isi RUU Penyiaran 2017 tidak sejalan dengan Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Misalnya, Pasal 2 yang berbunyi, "Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.”
Serta, Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 1 berbunyi, "Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
"Melihat pada isi Pasal-pasal yang disebutkan diatas dihubungkan dengan RUU Penyiaran yang akan menetapkan LPP RTRI sebagai Multiplexer Tunggal tentu sudah jelas tidak sesuai dengan semangat UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," tegas Kamilov Sagala.
Dia menambahkan, Menkominfo tidak memperhatikan betul keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum.
"Penetapan LPP RTRI menjadi Multiplexer Tunggal juga akan berakibat pada menurunnya iklim usaha yang kondusif serta jaminan kepastian dan kesempatan berusaha tidak ada karena sudah terjadi praktek monopoli oleh LPP RTRI melalui RUU Penyiaran ini," ungkapnya.
RUU Penyiaran ini juga membatasi kebebasan LPS dalam berinovasi dan berkreasi karena harus menyesuaikan dengan standar yang nantinya ditetapkan LPP RTRI.
"Jika dalam industri penyiaran diterapkan Single Mux, artinya Pemerintah mengabaikan infrastruktur-infrastruktur eksisting yang sudah dibangun LPS yang akan menjadi mubazir dan akhirnya merugikan LPS karena harus tetap merawat dan melakukan maintenance serta akan terjadi pengurangan tenaga kerja transmisi pada LPS karena pekerjaannya sudah diambil alih oleh LPP RTRI," ungkap Kamilov Sagala.
ATVSI Tolak Single Mux
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia (ATVSI) Ishadi SK di sela acara buka puasa bersama dengan media di Jakarta, menegaskan, penerapan konsep single mux di era demokratisasi penyiaran berpotensi menciptakan praktek monopoli yang diharamkan oleh UU Nomor Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Hal itu karena penguasaan atas faktor produksi, dalam hal ini frekuensi siaran/slot kanal dan infrastruktur oleh single mux operator, yakni LPP RTRI, adalah salah satu kegiatan yang menunjukkan adanya posisi dominan/otoritas tunggal oleh Pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.
Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
“Penetapan RTRI sebagai penyelenggara tunggal multipleksing juga berpotensi melanggar Undang-Undang Anti Monopoli, tidak adanya jaminan terselenggaranya standar layanan (service level) penyiaran digital yang baik dan kompetitif dan tentunya jaminan kebebasan menyampaikan pendapat melalui layar kaca,” ujar Ishadi SK.