News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tak Ada Lagi Tempat Aman di Jakarta, Saatnya Mencari Kota Lain

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengunjung antre untuk memesan unit hunian vertikal di kawasan Meikarta, Cikarang, Bekasii, Jawa Barat, saat grand launcing, Kamis (17/8/2017). Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada tempat aman di Jakarta meski di dalam rumah. Banyak orang tewas atau terluka karena sering terjadi kebakaran besar di tengah malam atau diserang oleh para perampok yang makin merajalela.

Inilah mengapa penderita gangguan jiwa di Jakarta meningkat pesat.

Menurut statistic Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Provinsi DKI Jakarta, tahun lalu terjadi 1.139 kasus kebakaran.

Penyebab utamanya adalah korsleting listrik. Korban tewas 20 0rang, 3.618 keluarga (11.719 orang) menjadi korban, harta benda yang hangus bernilai Rp 212 milyar, dan ratusan rumah hangus terbakar.

Maka tak mengherankan bila jumlah penderita gangguan jiwa yang berkeliaran di jalan terus bertambah.

Tahun lalu Dinas Sosial Pemda DKI menjaring 2.283 penderita sakit jiwa di jalanan, meningkat 668 orang dari tahun sebelumnya.

Angka ini ibarat puncak gunung es.

Jumlah penderita gangguan Jiwa di Jakarta sesungguhnya jauh lebih tinggi karena sebagian besar dirawat oleh keluarga dan tak tercatat di Dinas Sosial.

Merahasiakan anggota keluarga yang sakit jiwa sering terjadi untuk menjaga kehormatan keluarga.

Penelitian terbaru oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) menunjukkan, persentase penderita stress di Jakarta juga sangat tinggi.

Sekitar 49 persen wanita, dan 39 pria di Jakarta menderita stress.

Hal ini tentu saja membuktikan bahwa Jakarta sesungguhnya bukan tempat layak untuk ditinggali. Apalagi kota ini juga sedang menghadapi masalah serius yang terus menggunung.

Sekarang saja Jakarta sudah dikeluhkan habis-habisan oleh warganya karena sangat miskin fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos).

Kemiskinan ini membuat ketegangan sosial sulit diredakan karena kelangkaan ruang yang sehat untuk bersoalisasi, sport, belajar, berkesenian dan berbagai aktivitas kreatif lainnya.

Akibatnya banyak ketegangan berubah menjadi kekerasan, baik yang bersifat pribadi maupun massal.

Di masa mendatang, wajah Jakarta tampaknya bakal makin kusam.

Studi Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2000 menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014.

Meski tak sepenuhnya terbukti, namun JICA tak mengada-ada. Buktinya, pengamatan oleh produsen GPS, TomTom, pada jam-jam padat menemukan bahwa Jakarta tahun ini telah menjadi kota dengan kemacetan terparah keempat di dunia setelah Bangkok, Mexico City, dan Bucharest.

Kemacetan yang demikian hebat ini tentu saja membuat mobilitas orang Jakarta sangat lamban sehingga produktivitas mereka rendah.

Sementara itu, akibat tingkat stres yang terus meningkat, warga Jakarta makin gampang kehilangan akal. Gampang marah bahkan mengamuk.

Kini jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang-pergi dari dan ke tempat kerja. Itu pun masih harus menghadapi siksaan oleh sarana angkutan umum yang tidak nyaman dan tidak aman.

Mereka juga harus selalu waspada pada para pencopet dan peleceh seksual yang selalu bergentayangan pada jam-jam padat.

Tak kalah menyakitkan adalah kesenjangan ekonomi kian mencolok. Seolah tak punya simpati, kaum berduit suka bergaya dengan mondar mandir di atas mobil mewah bagaikan minyak dari Timur Tengah.

Sementara itu, di pusat-pusat keramaian seperti mal, mereka suka berdandan bagaikan selebriti Hollywod dimana semua yang menempel di tubuhnya bisa mengundang kejahatan.

Mereka suka memamerkan kekayaan dengan memakai gaun bermerek seperti Fendi, Versace, Oscar de La Renta dan sebagainya.

Ada pula yang menghiasi pergelangan tangannya dengan jam tangan bertahtakan berlian buatan Bulgari, Rolex dan sebagainya.

Kaum elite ini tak peduli bahwa penampilan mereka mengundang iri dan dengki banyak orang.

Bagi mereka yang tak peduli pada dosa dan penjara, kesenjangan tersebut kerap jadi pemicu untuk melakukan kejahatan termasuk penyerangan seksual.

Inilah mengapa kebabanyakan orang tua di Jakarta gelisah setiap kali anak mereka meninggalkan rumah. Demikian pula dengan para gadis yang keluar rumah di malam hari.

Sampai sekarang tak ada orang berani memberi kepastian kapan situasi menakutkan itu akan reda.

Catatan polisi pun menunjukkan angka yang menyeramkan.

Lihat saja, di wilayah hukum Polda Metro Jaya, tahun lalu aksi kejahatan terjadi setiap 12 menit 18 detik.

Secara keseluruhan, terjadi 43.149 kasus kejahatan di sepanjang 2016.

Dari fakta ini, perampokan melesat 12 persen menjadi 719 kasus, sementara perkosaan naik 6 persen menjadi 71 kasus.

Namun kenyataannya bisa jauh lebih buruk. Hal ini tergambar dari hasil survei Lentera Sintas Indonesia yang dirilis Juli lalu.

Jumlah kasus perkosaan sesungguhnya, menurut survei ini, jauh lebih tinggi.

Buktinya, 93 persen reponden survei tidak mau melaporkan kepolisi perkosaan yang dialami.

Alasan utamanya, takut dicemooh bahkan dikucilkan oleh keluarga, teman, bahkan masyarakat.

Maka jika tak ingin menjadi bagian Jakarta, yang sedang berkembang menjadi medan perang penuh darah, kenapa tidak mencari kota lain yang lebih bersih, aman, dan nyaman. Lakukan segera!

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini