BAGI banyak penduduknya, Jakarta adalah mimpi buruk berkepanjangan.
Berbeda dengan mimpi indah para pengadu nasib yang belum merasakan kenyataan hidup di Jakarta.
Jakarta memang bukan surga seperti kerap digambarkan oleh berbagai sinetron yang sudah lama menjadi tontonan terpopuler di Indonesia.
Kenyataannya, Jakarta adalah arena pertarungan yang telah membuat banyak orang frustrasi sampai nekat bunuh diri.
Kebangkrutan, kemiskinan berkepanjangan, dan gagal mencari pekerjaan, adalah salah satu penyebab utama kasus bunuh diri.
Tak tanggung-tanggung pula, bahkan ada yang memaksa seluruh anggota keluarganya ikut bunuh diri.
Bermacam cara dipakai untuk aksi yang mengenaska ntersebut. Ada yang minum racun, gantung diri, menabrakkan diri ke kereta api, loncat dari gedung tinggi, bahkan membakar diri.
Baca: Jakarta Kini Bagaikan Kota Sakit
Kenyataan di atas mebuktikan bahwa di balik gemerlapnya lampu kota dan mewahnya gedung-gedung pencakar langit, Jakarta juga bisa menjadi penghancur mimpi.
Kemilau Jakarta bukanlah gula seperti dalam peribahasa ‘ada gula ada semut’. Kemilau tersebut mengandung racun mematikan bagi siapa saja yang menelannya.
Betapa kerasnya hidup di Jakarta digambarkan oleh sebuah laporan Badan Pusat Satistik (BPS), yang menunjukkan sampai Februari lalu sekitar 60 persen pekerja di Jakarta bekerja di sektor informal alias kaki lima.
Artinya, mereka bekerja tanpa kontrak, dibayar tak sampai separuh dari upah minimum propinsi (UMP), jam kerja di atas ketentuan yang berlaku, setiap saat bisa kehilangan pekerjaan tanpa pesangon, dan bahkan dianiaya oleh majikan.
Dalam kondisi seperti itu, mereka terpaksa tingga lberjubel di kamar-kamar sewaan yang dibangun asal jadi di berbagai kawasan kumuh.
Baca: Tak Ada Lagi Tempat Aman di Jakarta, Saatnya Mencari Kota Lain
Maka tak aneh kalau mereka rentan terhadap gangguan kesehatan jiwa dan jasmani. Bagaimana tidak, kawasan semacam itu selain kotor juga rawan dimana kekerasan bisa terjadi setiap saat.