TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan diperkirakan mencapai lebih dari Rp 10 triliun tahun ini. Hal tersebut diungkap oleh Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch (4/10).
Timboel mengasumsikan hal ini dengan melihat defisit BPJS Kesehatan yang sudah dialami sejak Januari hingga Agustus 2017 dengan nilai yang terus membengkak.
“Menteri Kesehatan memperkirakan defisit tahun ini hanya Rp 10 triliun, tapi melihat data hingga Agustus yang mencapai Rp 8,52 triliun saya kira defisitnya akan lebih besar,” jelas Timboel.
Sejak pertama kali program ini diluncurkan pada 2014 lalu, BPJS Kesehatan memang selalu mengalami defisit.
Pada 2014, defisit kesehatan mencapai Rp 3,3 triliun, pada 2015 defisit meningkat menjadi Rp 5,7 triliun, dan 2016 desifit mencapai Rp 9,7 triliun.
Defisit ini kian membesar lantaran disebabkan terjadinya missmatch antara iuran BPJS dan pembiayaan klaim.
Semester pertama 2017, iuran peserta tercatat hanya mencapai Rp 35,96 triliun, sementara pembiayaan klaim mencapai Rp 41,18 triliun. Artinya, rasio klaim mencapai 114%.
Selama ini, defisit tersebut terus ditambal oleh negara dengan skema Penyertaan Modal Negara (PMN).
Sementara itu, Irfan Humaidi, Staf Ahli Bidang Komunikasi Publik dan Partisipasi Masyarakat BPJS Kesehatan mengatakan, sejak awal terbentuk lembaga ini memang disusun dengan memiliki gap sebagai bentuk tanggungjawab negara dalam menyediakan fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
“Kami ini dibentuk sebagai lembaga nirlaba, yang pengeluaran dan pendapatannya seimbang, jadi tidak mencari margin keuntungan,” kata Irfan.
Hingga September, Irfan memperkirakan sudah ada lebih dari 182 juta jiwa penduduk Indonesia yang telah terdaftar, dan lebih dari 2.200 rumah sakit yang berpartisipasi.
“Jumlah rumah sakit yang ikut mayoritas justru dari swasta, kira-kira 1.200 rumah sakit,” lanjut Irfan.