TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Manajemen PT Pertamina (Persero) saat ini dinilai kurang kreatif dan lebih banyak berkeluh kesah menyusul klaim yang menyebut bahwa BUMN yang mengurusi minyak bumi tersebut mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp 19 Triliun sepanjang Januari-September 2017.
PT Pertamina (Persero) kata Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman saat ini justru terus menerus menyalahkan pemerintah.
Penegasan Yusri, kondisi Pertamina saat ini sangat jauh berbeda ketika perseroan dipimpin oleh Dwi Soetjipto.
“Tidak ada langkah solutif yang bisa dilakukan Elia Massa Manik. Sangat berbeda ketika Dwi Soetjipto memimpin Pertamina. Di era Dwi, Pertamina bisa mengeluarkan produk inovatif seperti Pertalite dan Dexlite. Kalau Massa Manik apa langkahnya? Dia hanya bisa mengeluh saja,” tegas dia, Selasa(7/11/2017).
Yusri mengatakan, pada Kamis (2/11) lalu dalam keterangannya kepada media, Massa Manik menyatakan bahwa kerugian yang dialami Pertamina disebabkan karena perseroan tidak boleh menaikkan harga premium penugasan, solar bersubsidi dan minyak tanah, di tengah naiknya harga minyak dunia.
Menurut Yusri, sangat tegas pesan yang disampaikan oleh Masa Manik yang dirilis banyak media bahwa Pertamina tergerus terus keuntungannya karena penugasan pemerintah.
“Ada kesan yang ditangkap publik jika Presiden Jokowi harus bertanggung jawab terhadap kerugian Pertamina. Kebijakan BBM satu harga dinilai membebani keuangan Pertamina,” ujar Yusri.
Dia menambahkan, kesan lain yang ditangkap publik dari komentar Massa Manik itu adalah bahwa laba tergerus bukan karena ketidakefisienan proses bisnis di Pertamina.
“Kebijakan Menteri Jonan yang tidak memberikan restu untuk menaikkan harga BBM juga bisa dinilai menjadi penyebab kerugian Pertamina,” katanya.
Massa Manik, lanjut Yusri, juga pernah berkomentar bahwa harga yang wajar untuk BBM RON 88 jenis Premium saat ini adalah sekitar Rp 7.100 per liter.
Yusri menjelaskan, penjelasan yang dilakukan Massa Manik terkait kehilangan pendapatan Pertamina hingga Rp 19 triliun selama sembilan bulan, periode Januari-September 2017, sangat tidak etis sebagai pimpinan BUMN nomor wahid di republik ini.
Di sisi lain, Pertamina telah membatasi peredaran premium di kota-kota besar.
Bahkan di berbagai daerah premium telah lama langka.
Tentu saja, jelas Yusri, tindakan ‘membuat langka’ peredaran premium dapat diduga sebagai sikap Pertamina melawan Peraturan Presiden (Perpres) No 191/2014 yang diteken Presiden Jokowi pada 31 Desember 2014.
“Perpres itu mengatur tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM. Adapun jenis BBM yang diatur dalam perpres tersebut terdiri atas jenis BBM tertentu, jenis BBM khusus penugasan, dan jenis BBM umum,” katanya.