TRIBUNNEWS.COM, BALI - Otoritas penerbangan Indonesia telah menutup Bandara Internasional Ngurah Rai, Senin (27/11/2017).
Operator bandara Ngurah Rai menyatakan, 445 penerbangan yang terdiri dari 196 penerbangan internasional dan 249 domestik telah terdampak erupsi Gunung Agung.
Di samping itu, sebanyak 59.000 penumpang juga terdampak.
Bandara Lombok pun sempat ditutup pada Minggu (26/11/2017) tapi dinyatakan kembali aman untuk penerbangan pada Senin pagi.
Baca: Jadwal Penerbangan Terganggu Akibat Erupsi Gunung Agung
Penutupan kedua bandara tersebut, khususnya bandara di Bali dilakukan karena debu letusan Gunung Agung yang bertiup ke arah selatan, ke wilayah udara Denpasar, sebagaimana disiarkan oleh Volcanic Ash Advisory Center (VAAC) Darwin, Australia, pada Minggu (26/11/2017) malam.
Pihak otoritas bandara Ngurah Rai pun sudah mengeluarkan NOTAM, yang menyatakan bandara ditutup selama kurang lebih 24 jam, mulai dari Senin (27/11/2017) pagi pukul 07.00 WITA, hingga Selasa (28/11/2017) pagi pukul 07.15 WITA.
Mengapa operasi bandara sampai ditutup? Seberapa bahayakah debu letusan gunung berapi bagi pesawat terbang?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh NASA, debu gunung berapi bisa merusak fungsi baling-baling pada pesawat turboprop atau mesin jet dalam pesawat turbofan, komponen vital dalam penerbangan.
Hal itu telah terbukti dari insiden yang pernah dialami oleh pesawat Boeing 747-200 milik maskapai British Airways.
Pesawat dengan callsign 'Speedbird 9' (nomor penerbangan BA09) itu pada 24 Juni 1982 melakukan penerbangan rute Kuala Lumpur - Perth.
Di tengah perjalanan, saat melintasi Pulau Jawa, Indonesia, Speedbird 9 terperangkap di tengah abu letusan Gunung Galunggung.
Empat mesin B747 tersebut mati karena menyedot debu silika Gunung Galunggung.
Pilot kemudian memutuskan untuk menurunkan ketinggian jelajah dari 36.000 kaki ke 12.000 kaki.
Beruntung, pilot akhirnya berhasil kembali menyalakan mesin pesawat setelah terbang di ketinggian yang lebih rendah dan terbebas dari kepungan abu vulkanik.
Jika tidak segera menurunkan ketinggian dan terbebas dari kepungan abu vulkanik, bisa jadi malapetaka yang lebih besar tidak terhindarkan saat itu, seperti pesawat yang bakal mengalami disintegrasi.
Baca: 445 Penerbangan Kena Dampak Penutupan Bandara Ngurah Rai
Speedbird 9 kemudian mengalihkan pendaratannya di bandara terdekat, yaitu Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Debu silika yang ukurannya sangat kecil, diameternya antara 6 mikron hingga 2 mm, bisa terbawa angin dengan mudah, dan karena terlontar dari kawah gunung berapi, maka debu bisa membubung tinggi hingga ketinggian jelajah pesawat.
Karena saking kecil dan ringannya, debu gunung berapi sulit untuk dihilangkan, dan membutuhkan waktu yang lama untuk hilang sepenuhnya jika tidak segera diambil tindakan.
Jika hal ini terjadi dan dibiarkan maka dalam jangka waktu lama debu yang menempel dalam badan atau komponen pesawat bisa menyebabkan retakan-retakan halus di tubuh pesawat.
Retakan di badan pesawat, sekecil apa pun, sangat membahayakan karena badan pesawat didesain agar bisa "mengembang" dan "mengempis" saat di udara dan di darat, menyesuaikan dengan tekanan udara.
Debu silika gunung berapi memiliki titik leleh pada suhu 1.100 derajat celsius.
Lelehan itu bisa menempel dan melumerkan komponen bilah-bilah turbin di dalam mesin jet, atau nozzle, yang dalam pesawat jet modern suhunya bisa mencapai 1.400 derajat celsius.
Hal itu sesuai dengan kesaksian salah satu penumpang British Airways nomor penerbangan 9 yang mengatakan bahwa mesin B747 yang ditumpanginya terlihat menyala terang.
Bila komponen mesin terbakar dan meleleh, pesawat tidak lagi memiliki daya dorong yang seharusnya dibutuhkan untuk terbang.
Debu gunung berapi juga bisa merusak kaca depan pesawat.
Debu silika memiliki kontur yang tajam yang jika ditabrak dengan kecepatan tinggi maka kumpulan debu itu bisa membuat kaca depan pesawat tersayat-sayat, pandangan pilot pun jadi terbatas.
Abu vulkanik yang menempel di pesawat dalam jumlah banyak juga akan merusak aliran udara di sekitar badan pesawat dan justru menjadi penghambat lajunya.
Pesawat yang baru saja melintasi area abu vulkanik akan mendapatkan pengecekan secara menyeluruh.
Hal ini untuk memastikan tidak ada residu-residu abu vulkanik yang menempel di badan pesawat.
Jika ada komponen-komponen yang terdampak seperti rusak atau berubah bentuk karena terkikis, harus diganti secepatnya.
Dengan mengetahui dampak yang bisa disebabkan oleh abu vulkanik terhadap pesawat udara, maka penutupan wilayah udara dan bandara seperti yang dilakukan pihak Angkasa Pura adalah hal yang tepat.
Keamanan adalah hal yang mutlak dalam setiap penerbangan. (*)
Berita ini juga tayang di Kompas.com dengan judul Seperti Apa Bahaya Debu Gunung Berapi bagi Pesawat Terbang? yang ditulis oleh Reska K. Nistanto