TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah daerah di Indonesia mulai mengalami kelangkaan Elpiji 3 kilogram (kg) subsidi warna hijau muda atau sering disebut gas melon.
Di sejumlah wilayah di Jakarta sendiri, misal di Lenteng Agung, catatan Kompas.com menunjukkan daerah ini mengalami kelangkaan elpiji 3 kg sejak April 2017 lalu.
Baca: Inilah Nama Perwira TNI AU yang Berpeluang Jadi KSAU Gantikan Marsekal Hadi
Sementara seminggu terakhir, kelangkaan gas elpiji ukuran tiga kilogram terjadi hampir merata di sejumlah wilayah di Bogor.
Sulitnya mendapatkan gas ukuran tiga kilogram itu menyebabkan warga Bogor terpaksa harus mengantre berjam-jam di agen penjualan gas yang jauh dari wilayah rumahnya.
Tak ayal lagi, harga eceran gas melon turut terkerek akibat melubernya permintaan, yakni terpantau mencapai Rp 24.000 per tabung gas.
Dan beberapa hari sebelum itu, muncul penampakan tabung gas elpiji 3 kg warna pink, atau Bright Gas 3 kg yang nonsubsidi di Tangerang dan Tangerang Selatan.
Walaupun PT Pertamina menyatakan Bright Gas 3 kg nonsubsidi hanyalah tes pasar, namun kemunculannya menimbulkan gejolak di masyarakat yang beranggapan PT Pertamina akan mengganti elpiji subsidi dengan nonsubsidi.
Apakah kelangkaan elpiji 3 kg ini diakibatkan turunnya produksi gas Indonesia, atau bagaimana?
Ditemui usai acara peresmian Stasiun Pengumpul Gas Paku Gajah dan Kuang di Muara Enim, Sumatera Selatan, Rabu (6/12/2017), Direktur Hulu PT Pertamina Syamsu Alam menjawab pertanyaan seputar kelangkaan elpiji 3 kg tersebut.
Menurut Syamsu, saat ini sebagian besar gas produksi Pertamina EP adalah gas kering (metan) atau jenis c1 dan c2. Sementara untuk elpiji adalah gas basah atau komposisi c3 dan c4. Dengan demikian, untuk elpiji ini Pertamina harus impor.
Menurut Syamsu Alam, elpiji 3 kg subsidi ini sangat berat dipertahankan di Pertamina karena harus melakukan impor, selain itu masalah distribusi dan masalah siapa yang berhak pakai juga masih abu-abu.
"Sebetulnya yang harus dikejar pemerintah adalah gas pipa atau jaringan gas (jargas) perkotaan. Problemnya ya harus bangun infrastruktur pipa gas. Kalau elpiji itu harusnya jangka pendek peralihan dari minyak tanah saja," paparnya.
Lantas jika berat pada level subsidi, apakah artinya elpiji 3 kg akan dihilangkan seperti sangkaan banyak pihak?
Syamsu Alam menjawab tidak juga. Menurut dia, kuota yang diberikan DPR komisi VII sudah besar sekian juta metrik ton untuk 2018. Tetapi oleh Banggar DPR dipangkas. Menurut Syamsu Alam, di 2018 masalah kelangkaan Elpiji masih akan jadi masalah.
"Pertanyaannya, siapa yang berhak dapat subsidi? Kami akan sangat senang kalau bisa salurkan langsung ke yang berhak. Sebab selama ini elpiji 3 kg malah dipakai di restoran, warung, bahkan untuk menggerakkan traktor," lanjut Syamsu Alam.
Berita ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul: Elpiji 3 Kg Langka, Ini Komentar Direktur Hulu Pertamina