News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Surat Utang Kini Jadi Andalan Pembiayaan, Ancaman Defisit Transaksi Berjalan Makin Lebar

Editor: Choirul Arifin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI

Laporan Reporter Kontan.co.id, Adinda Ade Mustami 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan obligasi global kini semakin jadi sumber andalan pembiayaan bagi Indonesia. Keberhasilan PT Jasa Marga (Persero) Tbk menerbitkan obligasi dalam denominasi rupiah di luar negeri atau Komodo Bond senilai Rp 4 triliun, mendorong korporasi lain seperti PT PLN, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Intermedia Capital Tbk, dan PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk mengikutinya.

Namun, penerbitan global bond yang lebih besar juga berpengaruh terhadap defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).

Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menjelaskan neraca primer dalam transaksi berjalan selalu mencatatkan defisit atau kewajiban. Ini berarti, Indonesia harus mengalirkan dana asing ke luar negeri.

Defisit pada neraca pendapatan primer salah satunya bersumber dari pembayaran kewajiban investasi portofolio.

Itu berupa bunga atas pinjaman dan surat utang atau investasi. Defisit pada pendapatan investasi portofolio terus meningkat dari tahun ke tahun karena utang luar negeri yang terus bertambah nilainya.

Semakin banyak penerbitan utang luar negeri, baik berupa obligasi maupun pinjaman akan meningkatkan pembayaran kewajiban. "Pada gilirannya dapat meningkatkan defisit current account," kata Dody, Jumat (12/1/2018).

Baca: Delapan Tahun Sudah Artis Dina Lorenza Berhijrah, Ini Penuturan Pengalaman Spiritualnya

Baca: Kesaksian Sandra di Detik-detik Robohnya Lantai Balkon Tower 2 Gedung BEI

Meski begitu, peningkatan penerbitan obligasi global tersebut juga bisa meredakan beban pembayaran utang luar negeri. Asalkan, surat utang yang diterbitkan untuk kegiatan usaha yang berorientasi ekspor.

"Secara neto, dampak langsung dan tidak langsung terhadap CAD bisa berupa defisit yang lebih rendah atau bahkan bisa menciptakan surplus," tambah Dody. Namun ia menyatakan tidak ada jaminan bahwa utang dari luar negeri tersebut untuk mendongkrak kegiatan ekspor.

Dewan Gubernur BI sebelumnya memperkirakan transaksi berjalan Indonesia masih sulit surplus dalam jangka pendek. Gubernur BI Agus Martowardojo memperkirakan, CAD tahun ini sebesar 2%-2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Naik dibanding 2017 yang diperkirakan 1,65% dari PDB.

Kenaikan CAD diperkirakan akan terus terjadi hingga tahun 2019 akibat. Baru pada tahun 2022 CAD diperkirakan kembali menurun hingga di bawah 2% dari PDB karena pertumbuhan ekspor.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengamini semakin besarnya penerbitan global bond bisa memperlebar CAD dalam jangka menengah panjang. Sementara penerbitan global bond saat ini yang nominalnya belum terlalu besar membuat dampak ke CAD juga belum terlalu besar. Defisit pada neraca primer, masih terbantu oleh dana repatriasi dari kebijakan amnesti pajak pemerintah.

Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah dalam memperbaiki struktur transaksi berjalan adalah neraca jasa yang selalu mencatat defisit. Itu terutama dari penggunaan kapal-kapal asing dan asuransi kapal-kapal asing.

Pemerintah sudah mewajibkan penggunaan kapal domestik dan asuransi dalam negeri. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 yang diundangkan 31 Oktober 2017 dan berlaku pada April 2018.

Kebijakan wajib kapal domestik ini harus dilaksanakan secara konsisten. BI mencatat, neraca jasa pada kuartal III tahun 2017 defisit US$ 2,2 miliar, naik kuartal II US$ 2,18 miliar dan kuartal I US$ 1,22 miliar.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini