Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Badan Pusat Statistik menyatakan pada Januari 2018, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar 676,9 juta dolar AS.
Dalam keterangan resminya, BPS menyebut defisit neraca perdagangan tersebut imbas pertumbuhan ekspor Indonesia secara bulanan yang lebih kecil ketimbang nilai impornya.
Tercatat, pada Januari 2018, ekspor Indonesia berada di angka 14,46 miliar dolar AS, lebih rendah 2,81 persen pada Desember 2017 lalu.
Baca: Spanduk Pecel Lele nan Legendaris, Ternyata ini Sosok Pelukisnya
“Ini disebabkan penurunan harga komoditas seperti kopra, tapi harga batubara dan nikel naik,” ungkap Suhariyanto di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (15/2/2018).
Namun demikian, di Januari 2018, impor Indonesia tercatat lebih tinggi, yakni berada di angka 15,13 miliar dolar AS atau naik 0,26 persen dibanding bulan sebelumnya.
Angka tersebut juga melonjak signifikan dibanding Januari tahun sebelumnya di kisaran 26,44 persen.
Genjot Ekspor dan Arus Modal
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut, neraca perdagangan di Januari 2018 mengalami defisit seiring dengan meningkatnya kebutuhan dalam negeri, terutama untuk produksi jadi bahan baku dan barang modal.
Sebagaimana diketahui, memang, pertumbuhan impor tertinggi terjadi pada kelompok bahan baku dan bahan penolong yakni 2,34 persen secara bulanan (month to month). Sebagian besar impor tersebut berasal dari mesin-mesin pesawat mekanik dan peralatan listrik.
“Kalau impornya adalah dalam bentuk bahan baku atau barang modal itu merupakan suatu indikator yang sehat apakah itu dari sisi manufaktur maupun dari sisi investasi,” ungkap Ani saat ditemui di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (15/2/2018).
Namun demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menilai, neraca perdagangan terus dijaga dengan cara menggenjot ekspor dan meningkatkan arus modal masuk (capital inflow) di Indonesia.
“Kita tentu saja perlu untuk menjaganya dalam artian kemampuan kita dalam ekspor dan meningkatkan capital inflow di Indonesia, supaya defisit yang berasal dari impor ini tidak menimbulkan presepsi mengenai risiko dari eksternal,” tukas dia.