TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak patah arang menggugat kebijakan pemerintah dalam melakukan holdingisasi BUMN, meskipun baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) kabarnya telah menolak gugatan uji materiil Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 tentang holding BUMN Pertambangan.
Kali ini, koalisi tersebut tengah mempelajari kemungkinan untuk mengajukan uji materiil atas PP Nomor 6 tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina, yang menjadi payung hukum pembentukan holding BUMN Migas.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi sebagai salah satu anggota Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat BUMN, mengaku akan menghormati apapun putusan hukum dari MA. Terlebih, putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
"Hingga saat ini, kami belum menerima salinan putusan sehingga belum mengetahui alasan MA menolak permohonan uji materiil kami. Namun kami tetap menghormatinya," kata Redi saat dihubungi, Senin (19/3/2018).
Pengajar Fakutas Hukum Universitas Tarumanagara mengaku saat ini dirinya bersama koleganya tengah mempelajari PP Nomor 6 tahun 2018.
"Kami sedang menimbang apakah akan mengajukan permohonan uji materiil karena untuk hal yang sama kami telah mengajukan dua uji materiil, yaitu PP 72 tahun 2016 dan PP 47 tahun 2017 yang keduanya ditolak MA," jelasnya.
Menurut Redi, sama seperti PP 47 tahun 2017, penempatan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN sebagai anak perusahaan Pertamina akan mengakibatkan hilangnya status pelat merah PGN yang dinilainya memiliki potensi pelanggaran konstitusional.
"Hilangnya status perusahaan negara atas BUMN yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, tidak sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945," kata Redi.
Potensi Kerugian Negara
Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) juga menyoroti aksi korporasi holding BUMN yang masif dilakukan pemerintah belakangan ini. KAMMI menilai kebijakan ini sangat rentan merugikan negara jika tidak dilakukan dengan cermat.
Wakil Ketua PP KAMMI Barri Pratama mengamati pada proses beberapa holding terkesan terburu-buru, hingga dia melihat terdapat permasalahan valuasi. Hal ini terjadi pada holding BUMN Tambang dimana saham pemerintah di PT Timah (Persero) Tbk, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, dan PT Bukit Asam (Persero) Tbk di imbrengkan ke PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero).
"Nilai valuasi yang ditetapkan dalam PP Pembentukan Holding Tambang adalah nilai sementara dikarenakan valuasi (Due diligence) Badan Usaha yang diimbrengkan sahamnya tersebut belum selesai dilakukan," kata dia.
Terlebih jika hasil valuasi saham BUMN-BUMN tersebut ternyata lebih tinggi dari nilai sementara yang sudah ditetapkan dalam PP, maka akan merugikan negara.
“Ini kan konyol, harusnya selesaikan dulu valuasinya dengan hati-hati, sehingga diketahui berapa uang negara yang disertakan ke Badan Usaha, kenapa tergesa-gesa seperti itu? Fatal ini,” ujar Barri.
Aksi korporasi serupa menurutnya sedang dilakukan dalam pembentukan holding Migas. Karenanya Barri mengingatkan pemerintah agar kesalahan fatal sebagaimana terjadi dalam pembentukan holding Tambang tidak terulang lagi.
“Untuk Holding Migas memang tidak disebutkan nilai valuasi di dalam PP kan? Karena memang belum selesai. Nah ini harus dikawal hati-hati, jangan sampai ada kerugian negara sepeserpun. Selesaikan dulu valuasi baru itu semua RUPS atau kegiatan administratif lainnya dilakukan. Jangan kebalik," pungkas dia.
Seperti diketahui, proses pembentukan holding Migas sudah dikeluarkan melalui PP 6 Tahun 2018 namun belum terdapat valuasi PGN yang menentukan nilai penyertaan Pemerintah ke Pertamina. Nilai valuasi PGN ini sedang dalam proses penghitungan di Kementerian Keuangan.
Investor Menunggu Kepastian
Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada meminta pemerintah dan manajemen Pertamina untuk memberi kepastian atas rencana holdingisasi BUMN Migas yang sedang berlangsung. Pasalnya, para investor pemegang saham berkode PGAS milik PGN belum mendapat penjelasan secara pasti arah pembentukan holding tersebut.
“Karena pada saat membentuk holding kan ada induk dan ada anak usaha. Nah anak usahanya ini kan tentu butuh strategi ke depan, anak usaha ini mau diapakan? Apakah mau dikembangkan usahanya atau hanya sebagai tempat untuk mencatatkan beban?“ kata Reza ketika dihubungi.
Menurutnya, jika PGN ditempatkan sebagai anak usaha maka bisa saja manajemen Pertamina mengalihkan bebannya sebagian ke PGN secara pembukuan. Jika demikian, maka pemegang saham PGAS akan merasa dirugikan karena nilai sahamnya otomatis akan turun.
"Tetapi akan positif bagi investor kalau PGN ini dikelola dan dioptimalkan dengan baik oleh Pertamina. Karena Pertamina ini kan punya banyak mitra yang bisa memanfaatkan gas PGN. Tetapi kan sampai saat ini belum terlihat PGN ini mau dibawa kemana oleh Pertamina," jelasnya.
Selama pemerintah dan manajemen Pertamina belum memberikan informasi yang lengkap mengenai pengembangan dan risiko bisnis yang akan diberikan ke PGN, maka investor akan meresponsnya dengan kurang baik.