Laporan Reporter Kontan, Fauzan Zahid Abiduloh
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurangan batas transaksi tunai dalam Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal (RUU PTUK) dinilai tidak akan memberi dampak signifikan untuk menekan tingkat penyuapan dan korupsi.
Sebelumnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, mengusulkan nominal maksimal transaksi tunai dikurangi dari Rp 100 juta menjadi Rp 25 juta.
Usulan itu ia dasarkan pada adanya praktek penyuapan kepala sekolah di daerah pedesaan sebesar Rp 25 juta.
Terhadap usulan tersebut, Yunus Husein selaku Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengatakan bahwa pengurangan tersebut tidak memberikan dampak signifikan. Korupsi dan suap akan tetap terjadi, namun memang nominalnya jadi mengecil.
"Korupsi dan suap itu karena perilaku orang-orang yang kurang memiliki integritas. Kita lihat saja, Operasi Tangkap Tangan (OTT) sudah banyak namun urung menimbulkan efek jera Jadi, relatif saja lah jumlah nominal itu," jelasnya.
Baca: Operator Seluler Akan Hanguskan Nomor Seluler Prabayar yang Registrasinya Tak Sah
Selain itu, Yunus juga mengatakan bahwa batas maksimal transaksi tunai Rp 100 juta sudah melalui pertimbangan yang matang. Penetapan itu dilakukan guna membuat kompatibilitas dengan batas transaksi tunai negara lain.
"Bila anda melihat ke luar, batas transaksi Prancis adalah EUR 15.000. Begitupun Australia, jika dihitung berdasarkan rupiah, batas transaksi tunainya sebesar Rp 100 juta. Jadi, ketetapan ini untuk menjaga kompatibilitas dan konsistensi," sebutnya.
Penjagaan kompatibilitas tersebut diyakini sangat penting. Pasalnya, bila batas maksimal transaksi tunai dibuat berbeda, itu akan membuat kebingungan mengenai aturan yang berlaku.
"Ya anda akan bingung kalo berbeda-beda. Misal, jika anda berobat ke Singapura atau Australia, sedangkan batas transaksi tunai kita Rp 25 juta, nanti aturan mana yang berlaku?" jelasnya.
Sebagai tambahan informasi, transaksi tunai untuk biaya pengobatan memang masuk dalam daftar RUU PTUK sebagai pengecualian. Selain itu, RUU PTUK memiliki 11 pengecualian lainnya. Tiga diantaranya yaitu transaksi tunai untuk melaksanakan putusan pengadilan, transaksi tunai untuk penanggulangan bencana alam, dan transaksi tunai untuk pelaksanaan penegakan hukum.