TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan ekonom menyatakan prihatin terhadap tren terus melemahnya kurs rupiah terhadap mata uang dolar AS belakangan ini yang menyentuh level Rp 14.400-an per dolar AS.
Hussein Sayed, analis pasar uang yang juga Chief Market Strategist dari ForexTime (FXTM) dalam ulasannya hari ini, Selasa (3/7/2018) menyatakan, tren kemerosotan rupiah di awal pekan perdagangan ini karena dolar AS semakin stabil dan ketegangan perdagangan global mengganggu ketertarikan investor pada mata uang ini.
"Munculnya kekhawatiran yang semakin besar mengenai arus keluar modal yang memengaruhi ekonomi Indonesia dapat semakin memperburuk keadaan rupiah," ungkap Hussein Sayed.
Dia menambahkan, Juni merupakan bulan trading yang sangat sulit bagi mata uang pasar berkembang.
"Jika situasi negatif ini berlanjut di bulan Juli, mata uang pasar berkembang dapat semakin terpukul, termasuk rupiah," tegasnya.
Baca: Sri Mulyani Singgung Pancasila dalam Negosiasi Pemerintah dengan Freeport
"USD-IDR saat ini berada di kisaran Rp 14.375. Penurunan dapat berlanjut mendekati 14500 apabila dolar AS terus menguat," tambahnya.
Perang dagang memanas
Soal Penilaian Harian & Pembahasan Kunci Jawaban Geografi Kelas 12 SMA/MA Pola Keruangan Desa & Kota
Soal & Kunci Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 8 SMP Bab 2 Kurikulum Merdeka : Iklan, Slogan dan Poster
Enam bulan pertama tahun 2018 sungguh menarik. Fundamental ekonomi dan politik menjadi sorotan utama dan sangat memengaruhi pasar.
"Federal Reserve melakukan pengetatan karena pertumbuhan dan inflasi terus meningkat," sebut Hussein Sayed.
Perang perdagangan antara AS dan seluruh negara lainnya terutama China dan Uni Eropa semakin memanas.
Selain itu, pemerintahan AS memberi stimulus besar untuk ekonomi yang sudah mendekati full employment sehingga Dolar AS semakin menguat.
Baca: INDEF: Momen Lebaran dan Pilkada Serentak Gagal Dorong Daya Beli Masyarakat
Pertumbuhan ekonomi AS yang kuat walaupun seluruh bagian dunia lainnya melemah memberi dukungan untuk pasar ekuitas. Walau begitu, ketidakpastian geopolitik dan proteksionisme menjadi risiko negatif terbesar.
Sepertinya kita berada dalam tahap akhir siklus ekonomi saat ini, tapi belum ada isyarat terjadinya resesi.
"Dalam keadaan ekonomi seperti ini, investor saham harus lebih berhati-hati. Kita memerlukan metode yang lebih selektif karena valuasi akan semakin menantang dalam beberapa bulan mendatang karena volatilitas meningkat," saran Hussein Sayed.
Inflasi akan menjadi faktor utama yang menggerakkan kebijakan moneter pada tengah tahun kedua 2018 sehingga investor harus memperhatikan harga minyak.