TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kalangan pengamat menyayangkan keputusan Pertamina melepas sejumlah aset hulunya kepada pihak ketiga melalui skema share down dan rencana spin off unit bisnis RU IV Cilacap dan unit bisnis RU V Balikpapan melalui usulan permintaan izin prinsip ke Kementerian BUMN dan telah mendapat persetujuan dari Menteri BUMN Rini Soemarno.
Berdasar dokumen yang beredar di media, Menteri BUMN Rini Soemarno menyetujui empat usulan penting Pertamina termasuk rencana share down aset hulu dan spin kedua unit bisnis tersebut melaui surat bernomor S-427/MBU/06/2018 tertanggal 29 Juni 2018.
Ekonom INDEF Dradjad H Wibowo yang dikonfirmasi Tribunnews, Sabtu (21/7/2018) mengatakan, kondisi ini mencermikan kondisi keuangan Pertamina yang memburuk sebagai dampak kebijakan Pemerintah yang buruk dala pengelolaan anggaran subsidi bahan bakar dan elpiji.
"Kisruh di tubuh Pertamina ini adalah akibat tata kelola APBN yang jelek, khususnya pada pos subsidi energi."
"Pada akhir 2017 Pertamina pernah menyurati Pemerintah agar membayar tunggakan subsidi BBM dan LPG Rp 30 triliun. Tunggakan ini belum dibayar sejak 2016," kata Dradjad.
Baca: Penjualan Aset Hulu Pertamina DIkhawatirkan Jadi Indosat Jilid 2
Dradjad menjelaskan, pada tahun 2018, dengan ICP jauh di atas asumsi APBN US$ 46/b, Pertamina dirugikan karena kehilangan pendapatan. Untuk Januari-Februari 2018 saja kehilangan ini sudah hampir Rp 4 triliun," sebutnya.
Padahal, selama 2 bulan tersebut ICP masih relatif belum setinggi sekarang, masih pada kisaran US$ 61-66 per barrel. Akhir-akhir ini ICP berkisar US$ 65-68 per barrel.
"Jelas Pertamina makin dirugikan. Nilainya bisa lebih dari Rp 25 atau 30 triliun setahun, apalagi Rupiah makin terdepresiasi terhadap dollar AS.
Baca: Kondisi Keuangan Pertamina Sudah Lampu Kuning
Semua angka tersebut seharusnya masuk ke dalam pos APBN," beber Dradjad.
Dengan trik membebankan hal ini ke keuangan Pertamina, defisit APBN berjalan jadi terlihat lebih kecil dari angka aslinya.
"Contohnya APBN-P 2017. Defisit yang diumumkan resmi kan sebesar Rp 345,8 triliun atau 2,57% PDB. Jika tunggakan ke Pertamina dimasukkan, defisit yang asli adalah Rp 375,8 triliun atau 2,79% PDB. Jadi defisit aslinya jauh di atas angka yang diumumkan," ungkap Dradjad prihatin.
Dia menambahkan, Pemerintah seharusnya taat azas dalam tata kelola APBN. "Bukan mementingkan pencitraan politis.
Yaitu, pencitraan agar harga BBM kelihatan tidak naik, BBM seperti premium tetap seolah-olah tanpa subsidi, dan defisit APBN terlihat seolah-olah lebih rendah," kata dia.
Akibatnya, Pertamina didorong menjual aset.
Baca: Pertamina Didemo Karyawannya, Dirut: Masalahnya Hanya di Komunikasi