TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Anggota Dewan Pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Indonesia Hebat (ALMISBAT), Syaiful Bahari mengatakan, kebijakan menteri pertanian soal pengaturan impot bawang putih menimbulkan pertanyaan yang besar dan membuat polemik dikalangan pelaku tanah air.
Pasalnya, kebijakan ini menciptakan rantai prosedur yang panjang, sehingga memberatkan importir swasta untuk memenuhi kebutuhan bawang putih di pasar lokal.
"Allh-alih memberikan solusi terbaik bagi tata niaga komoditas bawang putih nasional, malah jadi ajang perebutan kuota impor dan memberi peluang terjadinya praktek suap menyuap antara pengusaha dan pejabat," kata Syaiful saat diskusi nasional,
Pernyataan Syaiful disampaikan saat diskusi bertema 'Membongkar Praktek Kartel Dibalik Peraturan Menteri Pertanian (permentan) nomor 38/2017 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH)' di Hotel Alia, Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (25/7/2018) kemarin.
Syaifil yang juga mantan Wakil Direktur Bina Desa ini dalam pernyataannya yang diterima tribunnews.com menegaskan, kebijakan pemerintahan Jokowi-JK , memillh jalan membangun Indonesia dari pinggiran/desa, mewujudkan kemandirlan ekonomi, menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik, merupakan pilihan tepat.
Yang menurutnya, emerlukan dukungan melalui regulasi yang mempercepat proses terwujudnya kemandiran tersebut sebagaimana perintah Presiden Jokowi. Bukan sebaliknya, produk regulasi dan program pertanian yang menghambat dan bertentangan dengan semangat reformasl ekonoml yang semakin kompetitif di era global.
"Adanya kisruh bawang putih akhir-akhir ini menunjukkan program kementan tidak memilikl prioritas dan gagal fokus untuk memenuhi target-target pembangunan pertanian sesuai dengan program NAWACITA pemrintaha Jokowi-JK," tegas Syaiful Bahari.
Selain itu, regulasi yang membatasi sektor perdagangan justru menciptakan korupsi, nepotisme, dan monopoli baru oleh segelitir elit politik dan pengusaha yang memilki kedekatan dengan pejabat kementerian. Sebab pemegang izin Impor atas komoditas yang jumlahnya terbatas di pasaran mempunyai kekuatan mengontrol harga komoditas tersebut.
"Contoh paling nyata kebjakan bawang puth yang mewajibkan pemegang izin impor wajib menanam 5% bawang putih dari total impor yang disetujui untuk mengejar swasembada. Sesuatu yang sulit dicapai, mengingat keterbatasan lahan, faktor ikllm, ketersediaan benih unggul. Semuanya menjadi kendala dan hambatan di Indonesia karena bawang puth harus ditanam di atas lahan ketinggian 700-1.200 meter di atas permukaan laut," paparnya.
"Di Indonesia lahan dengan ketinggian tersebut sangat terbatas, kalaupun ada akan menyingkirkan komoditi hortikultura lain. Seperti kentang, wortel dan sayur-sayuran. Kalau program ini tetap dipaksakan akan terjadi "kanibalisasi" antar komoditi hortikultura itu sendiri," jelas Syaiful.
Ia menambahkan, sebenarnya pemerintah tak perlu membuat peraturan yang "aneh-aneh" seperti mewajibkan tanam bawang putih kepada para Importir.
"Jika pemerintah khawatir akan terjadi monopoli dan permainan harga bawang putih impor, pemerintah bisa mengecek harga bawang putih di negara produsen. Sehingga dapat menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang wajar di dalam negeri. Dengan demikian konsumen tidak dirugikan," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Ketua Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN), Antonius Iwan Dwi Laksono mengatakan, seharusnya pemerintah harus lebih pro terhadap pengusaha bawang putih. Karena, pelaku usaha juga dapat mendongkrak perekonomian nasional, khususnya di sektor rill.
"Kami disuruh menanam, sedangkan baru bisa impor, sedangkan kita sama-sama bisa lihat di Indonesia lahan yang bisa digunakan sudah alih fungsi semua," ungkapnya.
Oleh karena itu, lanjut Iwan, regulasi dan permentan yang dibuat harus dikaji ulang dan mempertimbangkan kendala-kendala yang ada. "Jangan sampai kecurigaan dan pertanyaan yang membuat gaduh hingga timbul tudingan kartel ini berlarut-larut, tentu ini merugikan pemerintah," katanya.