Laporan Reporter Kontan, Yudho Winarto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (Gappri) berharap agar Kementerian Keuangan (Kemkeu) dalam setiap mengambil kebijakan berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau untuk lebih memperhatikan berbagai faktor antara lain kondisi ekonomi yang masih sulit, dan juga suhu politik yang cenderung memanas menjelang pemilu.
"Harapan kami sebagai pengusaha, Kemkeu sepikiran dan sepemahaman agar tidak ada generalisasi jenis kretek dan rokok putih. Kemudian kami berharap Kebijakan Cukai 2019 status quo, tetap sesuai dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2018," kata Ketua Umum GAPPRI, Ismanu Soemiran dalam keterangannya, Kamis (30/8/2018).
Dalam PMK No 146/2017 diatur ketentuan pengurangan golongan atau layer tarif cukai. Penerapan kenaikan tarif bagi industri yang memproduksi rock putih dan rokok kretek.
Caranya menghitung total kumulasi produksi keduanya, mulai tahun 2019. Penyamaan tarif cukai antara jenis rokok SKM dan SPM pada 2020, dan menghilangkan golongan I-B SKT.
Baca: Gaikindo Klaim Semua APM Siap Gunakan Biodiesel B20
Jika kenaikan tarif dan penyederhanaan layer dilakukan, tukasnya, maka akan terjadi kenaikan ganda. Yakni kenaikan regular tarif cukai dan kenaikan atas dampak penghapusan layer.
Skema kenaikan tarif melalui pengurangan layer yang cukup signifikan dari 2018-2021.
Baca: Pick Up F-150 untuk Rayakan Ultah Harley-Davidson ke-115 dari Ford
''Perlu diingat kondisi industri rokok saat ini sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 % selama 4 tahun terakhir. Bahkan hingga April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 %. Hal itu sesuai penelitian Nielsen, April 2018,'' tukasnya.
Karenanya, dia berharap Pemerintah dapat mengkaji kembali rencana penerapan kenaikan cukai dan penyederhanaan layer cukai yang berpotensi akan menimbulkan kerugian, baik bagi industri maupun negara sendiri.
Ismanu Soemiran, menyampaikan faktanya penjualan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang setor ke negara sebesar hampir 70 %. Itu setara kurang lebih Rp 200 triliun.
Baca: Bawaslu: Tidak Ditemukan Pelanggaran Mahar Politik oleh Sandiaga Uno
Maka sesungguhnya IHT dapat disebut BUMN yang dikelola swasta. Ismanu menegaskan hidup mati industri hasil tembakau tergantung pemerintah juga.
Secara de facto pemerintah adalah penerima pungutan terbesar hasil penjualan IHT. '
'Oleh karenanya bila pemerintah tetap kukuh kami tetap akan menjalankan kebijakan cukai 2019 /PMK146. Kami percaya pemerintah menganggap kami bagaikan angsa yang bertelur emas,'' katanya.
Selain itu, kenaikan cukai rokok juga berpotensi meningkatkan rokok ilegal.
Gappri menilai salah satu sebab meningkatnya rokok illegal dan menurunnya produksi rokok adalah karena tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai yang tinggi di atas tingkat kemampuan beli masyarakat.
Perdagangan rokok illegal selain mengganggu stabilitas industri rokok, juga mengganggu penerimaan negara.
Dia mencontohkan, di Malaysia karena tarif rokok yang mahal membuat rokok ilegal kian banyak. Hal ini juga dialami di kota New York, Amerika Serikat.
''Bila rokok ilegal makin banyak maka pemerintah juga tidak dapat penerimaan,'' pungkasnya.
Ismanu menegaskan, para pengusaha sangat memperhatikan setiap kebijakan karena akan berdampak pada tenaga kerja dan biaya operasional yang semakin berat. Belum lagi, setiap kebijakan cukai akan membuat pengusaha tertekan sehingga bisa berdampak terhadap PHK.
"Yang kami pikirkan adalah Angkatan Kerja. Kami menjaga agar Jangan sampai ada PHK gara-gara PMK 146. Sesuai surat GAPPRI kepada Menkeu tertanggal 23 April 2018, kami mohon pemberlakuan PMK 146 ditangguhkan, status quo dulu," tegas Ismanu.
Permintaan agar status quo, berdasarkan kondisi pasar yang sangat lesu, di mana keseluruhan penjualan menunjukkan penurunan cukup signifikan.
Kemudian, kondisi ekonomi di berbagai bidang mengalami penurunan, dan saat ini sebagian besar industri termasuk industri rokok lebih memilih bertahan dari dampak yang lebih besar daripada melakukan pengembangan.
"Masih maraknya peredaran rokok ilegal, meskipun berbagai upaya yang dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan industri, terus digalakkan," tandas Ismanu.
GAPPRI juga berharap agar Kemkeu mereview atas penyamaan klasifikasi golongan kretek dan rokok putih dalam PMK No 147/PMK.010/2017 dan PMK No146/PMK.010/2017 ini tidak dilaksanakan di tahun 2019.
Tak kalah penting, mengekstensifikasikan barang kena cukai di luar produk rokok, supaya beban industri rokok dapat diturunkan, dan ruang fiskal yang bersumber dari penerimaan cukai masih bisa diperluas.