Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Anggota Komisi VI DPR, Mohamad Hekal menyoroti perihal potensi tren merangkaknya rasio kredit bermasalah (NPL) perbankan. Hal itu, menurunta lantaran ditengarai oleh ketidakpastian ekonomi global yang berpotensi berlanjut hingga tahun depan.
Tekanan eksternal tersebut, misalnya perihal rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat.
Bank sentral dalam negeri juga merespons ketidakpastian ekonomi global dan melemahnya kurs rupiah dengan menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebear 25 basis poin menjadi 5,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur pertengahan Agustus lalu.
“NPL BRI naik, ke depan, pasti kecenderungan NPL naik,” kata Hekal, Kamis (6/9/2018) di Komisi VI, DPR, Senayan, Jakarta.
Seperti diketahui, rasio kredit macet (non performing loan/NPL) Gross konsolidasi BRI pada semester I 2017 tercatat sebesat 2,34 persen. Sedangkan pada semester pertama tahun ini NPL Gross BRI naik menjadi 2,41 persen.
Baca: Kedelai Mahal Terimbas Lonjakan Dolar AS, Pedagang di Pondok Aren Kecilkan Ukuran Tahu
Di tempat yang sama, Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) Suprajarto mengatakan, naiknya rasio kredit bermasalah lantaran bukan dipengaruhi oleh kondisi ekonomi saat ini melainkan pada kreditur lama perseroan yang bermasalah, namun hal ini menurutnya sudah dibenahi.
Baca: Kurs Dolar AS Melonjak, Harga Jual Laptop Ikut Menanjak
Untuk porsinya, rasionya kredit di sektor korporasi memang masih lebih besar dibandingkan UMKM.
“NPL memang naik, ini pinjaman lama yang memang sudah prolem agak lama, tapi sudah dibenahi, sebetulnya kenaikan NPL kenaikan bukan karena kondidi saat ini,” kata Suprajarto.
Namun demikian, ia memastikan secara keseluruhan kondisi nasabah BRI belum ada pengaruh dari kondisi perekonomian saat ini. “Insya allah ada perbaikan, secara keseluruhan nasabah belum ada pengaruh kondisi saat ini,” katanya.