TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Komisoner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan, saat ini kondisi keuangan dunia sudah memasuki keseimbangan baru. Sehingga tidak mungkin untuk rupiah menguat di level Rp 10.000 per dollar AS.
Sebab, kondisi likuiditas dunia dan suku bunga perbankan jauh berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu. Begitu pula dengan kebutuhan Indonesia atas likuiditas di dalam negeri yang tidak lagi sama dengan 20 tahun lalu.
"Dalam pengertian pada waktu itu suku bunga murah di dunia, dan kita juga menjaga keseimbangan yang ada di Indonesia juga seperti itu," ujar Halim ketika ditemui awak media di Jakarta, Selasa (25/9/2018).
Halim menjelaskan, era yang disebut dengan quantitative easing tersebut menyebabkan suku bunga acuan BI turun. Di sisi lain, aliran dana pun masuk ke berbagai negara pasar berkembang termasuk Indonesia.
Namun, saat ini kondisi sudah berubah. Sebab, sekarang Amerika Serikat mulai mengetatkan kembali kebijakan moneter perekonomian mereka seiring dengan pulihnya kondisi ekonomi paska krisis. Eropa pun juga mulai meningkatkan suku bunganya.
"Beberapa negara lain juga mulai menghentikan quantitative easingnya. Jadi ini artinya, yang dulu dia menyebarkan likuiditas banyak ke pasar keuangan global, perlahan mereka tarik kembali," jelas Halim.
Sebagai informasi, bank sentral Amerika Serikat pada Rabu, (26/9/2018) akan mengumumkan hasil the Federal Market Open Committe (FOMC). Diperkirakan the Fed akan kembali menaikkan suku bunga mereka untuk yang ketiga kali tahun ini.
Halim menjelaskan, kondisi tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam keseimbangan ekonomi dunia. Dana yang tadinya masuk secara besar-besaran ke Indonesia pun ditarik kembali ke negara asalnya.
"Akibatnya likuiditas berkurang sementara kebutuhan likuiditas Indonesia masih tinggi. Karena pembangunan kita butuh dana, ini yang terjadi," jelas dia.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "LPS: Rupiah Tak Mungkin Kembali ke Rp 10.000 Per Dollar AS"