Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah melalui Menko Perekonomian, Darmin Nasution, Jumat (2/11/2018) lalu, memerintahkan kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan rekomendasi impor jagung pakan ternak maksimal sebanyak 100 ribu ton dan menugaskan Perum Bulog untuk melakukan impor.
Terkait ramainya pemberitaan rencana impor tersebut, Kementerian Pertanian (Kementan), melalui Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro memberikan penjelasan.
Syukur menyebut produksi jagung nasional 2018 surplus, bahkan telah melakukan ekspor ke Filipina dan Malaysia. Kelebihan produksi tersebut diperoleh setelah menghitung perkiraan produksi 2018 dikurangi dengan proyeksi kebutuhan jagung nasional.
Baca: Ketua APJI: Impor Jagung Akan Jadi Pukulan Telak Untuk Petani
Hal tersebut sekaligus menepis anggapan bahwa pakan ternak yang naik belakangan ini diakibatkan oleh melesetnya data produksi.
"Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, produksi jagung dalam 5 tahun terakhir meningkat rata-rata 12,49 persen per tahun. Itu artinya, tahun 2018 produkai jagung diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK)," ujar Sekjen Kementan Syukur Iwantoro di kantornya, Gedung A Kementan, Jl RM Harsono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Sabtu (3/11/2018).
Dirinya juga menjelaskan bahwa perkiraan ketersediaan produksi jagung November sebesar 1,51 juta ton dengan luas panen 282.381 hektare, sementara Desember 1,53 juta ton dengan luas panen 285.993 hektare. Produksi ini tersebar di sentra produksi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontolo, Lampung, dan provinsi lainnya.
Sementara dari sisi kebutuhan, berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK, yang terdiri dari pakan ternak sebesar 7,76 juta ton PK, peternak mandiri 2,52 juta ton PK, untuk benih 120 ribu ton PK, dan industri pangan 4,76 juta ton PK.
"Artinya Indonesia masih surplus sebesar 12,98 juta ton PK, dan bahkan Indonesia telah ekspor jagung ke Filipina dan Malaysia sebanyak 372.990 ton," katanya.
Namun, kata Syukur, kondisi yang terjadi seperti saat ini, harga jagung di beberapa lokasi sentra industri pakan meningkat, bukan berarti produksi dan pasokan jagung dari petani dalam negeri bermasalah.
Ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi meningkatnya harga jagung di suatu lokasi, terutama karena sebaran waktu dan lokasi produksi yang bervariasi.
Di samping itu, juga pabrikan pakan ternak atau konsumen yang terfokus pada lokasi tertentu saja seperti Medan, Banten, Jabar, Jateng, Surabaya, Sulsel.
"Terkait harga jagung untuk pakan ternak, bahwa kebutuhan jagung untuk pabrik pakan saat ini sebesar 50% dari total kebutuhan nasional, sehingga sensitif terhadap gejolak. Kendalanya yang terjadi adalah karena beberapa pabrik pakan tidak berada di sentra produksi jagung, sehingga perlu dijembatani antara sentra produksi dengan pengguna agar logistiknya murah," ucapnya.
Persoalan lain yang juga perlu diselesaikan menurut Syukur adalah menyederhanakan rantai pasok.
"Alur perdagangan jagung saat ini umumnya masih panjang dan menyebabkan harga cenderung tinggi. Jagung dari petani biasanya dijual ke pedagang pengumpul, dan selanjutnya dijual lagi ke pedagang besar. Dari pedagang besar ini, barulah dipasarkan ke industri," terangnya.
Syukur pun memberi contoh perbedaan harga distribusi jagung dari Tanjung Priok (Jakarta) ke Tajung Pandan (Bangka Belitung) yang lebih mahal dibanding ke Pelabuhan Port Plang (Malaysia).
"Kalau kita bandingkan dengan Tajung Priok ke Pelabuhan Tanjung Pandan Belitung perjalanan tiket untuk mobil angkut itu setiap 14 ton ibu biayanya Rp 33 juta belum termasuk biaya solar mobil biaya lainnya. Sementara Tanjung Priok-Port Klang untuk 24 sampai 27 ton biayanya US$ 1.750 (sekitar Rp 26,1 juta kurs Rp 14.950)," jelasnya.
Dirinya menambahkan, harga US$ 1.750 tersebut sudah termasuk seluruh biaya pengurusan dokumennya.
Oleh sebab itu Syukur mengatakan butuh dukungan semua pihak untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem distribusi ini.
Selanjutnya dirinya juga menyebut bahwa upaya Kementerian Perdagangan membangun sistem resi gudang di berbagai daerah belumlah berfungsi optimal, sehingga petani tetap terpaku pada sistem konvensional.
"Berdasarkan laporan lapangan misalnya, gudang dan pengering untuk resi gudang yang tidak berfungsi optimal tersebut ada di Luwu Raya, Minahasa Selatan, Garut, dan Lampung. Seharusnya, ketika terjadi akumulasi panen pada suatu periode, program resi gudang dimaksimalkan agar nilai tambah dan risiko produsen serta konsumen dapat dimitigasi," ungkapnya.
Dengan demikian, keputusan impor jagung, kata Syukur, yang maksimal mencapai 100 ribu ton untuk kebutuhan pakan peternakan mandiri.
Kedepannya Kementan tetap bertekad memenuhi kebutuhan jagung nasional dari produksi dalam negeri tanpa impor jagung sama sekali.
Untuk mencapai target tersebut, Kementan mengalokasikan bantuan benih jagung seluas 2,8 juta hektare yang tersebar di 33 provinsi sesuai dengan potensi lahan, lokasi pabrik pakan, dan ekspor. Dampak dari kebijakan ini sudah dirasakan dengan adanya peningkatan produksi.
Selain bantuan benih, tahun 2018 ini Kementan juga telah menganggarkan pembangunan pengering jagung (dryer) sebanyak 1.000 unit untuk petani. Hal ini dilakukan karena sebagian besar petani jagung tidak memiliki alat pengering, sehingga menyebabkan timbulnya persoalan kualitas jagung yang dipanen pada musim hujan kurang baik dan cenderung basah.
Sementara itu, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP) Kementan Gatot Sumbogodjatiada menegaskan harga jagung di lapangan juga tidam sebesar yang banyak diberitakan.
Dia mengatakan pada bulan Oktober 2018 harga jagung di sekitar Rp3.691 per kilogram (kg). Bahkan 3 bulan yang lalu harga jagung sempat turun di Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara hingga Rp2.887 per kg.
"Karena dari harga di tingkat petani tersebut, ditambahkan dengan biaya processing dan penyusutan bobot akibat pengeringan sebesar 15% maka harga jagung di pengguna akhir tidak lebih dari Rp4.250 per kg. Hal ini menunjukkan disparitas harga di petani dan di industri yang menjadi indikasi diperlukannya pembenahan rantai pasok jagung," paparnya.
Padahal berdasarkan data Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) harga jagung sudah mencapai Rp5.200-Rp5.300 per kg. Sedangkan harga pokok penjualan (HPP) jagung yang dipatok pemerintah Rp4.000 per kg.
Gatot menyatakan, untuk mengatasi permasalahan kenaikan harga ini, Kementan menyediakan 1.000 alat pengering (dryer) untuk pengolahan pascapanen, agar jagung bisa disimpan dan ditransportasikan dengan baik sehingga bisa meminimalisir terjadinya disparitas harga.
Menurutnya, di Indonesia kapasitas pengeringan industri pakan masih rendah karena sebagian masih belum memiliki dryer atau ruang penyimpanan yang cukup besar. Selain itu, pihaknya juga akan membantu industri pakan atau pengguna Iainnya yang kesulitan mencari jagung dengan dapat langsung berkomunikasi pada Direktorat Serealia Kementan.
"Dalam jangka panjang, Kementan menyatakan siap mendampingi terbentuknya kemitraan Business to Business (B to B) antara industri pakan dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sehingga industri mendapat jagung sesuai spesiflkasi yang diinginkan dan pasokan jagungnya terjamin," jelas dia.