Mengutip Bloomberg, Jumat (30/11), rupiah tercatat masih melanjutkan penguatannya terhadap dollar AS dengan naik 0,56% ke Rp 14.301 per dollar AS.
Analis Pasar Uang Bank Mandiri Reny Eka Putri mengatakan, sentimen yang membuat rupiah menguat adalah prospek Powell yang dovish bahwa kenaikan suku bunga AS ke depan tidak terlalu agresif bahkan cenderung era kenaikan suku bunga akan berakhir.
"Risk appetite investor pun berbalik arah tidak ke AS lagi melainkan ke negara emerging market, termasuk Indonesia," kata Reny, Jumat (30/11).
Sementara, dari dalam negeri fundamental Indonesia dipandang solid karena pertumbuhan ekonomi stabil di 5%. Aliran dana investor asing baik di pasar saham maupun obligasi domestik pun banjir sekitar Rp 45 triliun di sepanjang November 2018.
Hingga saat ini Bank Indonesia juga masih mendukung penguatan rupiah. Hal ini terlihat dari BI yang belum memberikan batas penguatan rupiah.
Beragam kebijakan pemerintah maupun BI juga berperan dalam membuat rupiah menguat, seperti kerjasama bilateral swap, domestic non-deliverable forward (DNDF), dan mendorong peningkatan konversi devisa hasil ekspor (DHE).
Gabungan kondisi eksternal, seperti dovish-nya The Fed, tekanan perang dagang AS dan China yang mereda, serta kondisi dalam negeri yang stabil menjadi katalis positif untuk mendukung rupiah menguat hingga akhir tahun.
Meski The Fed menaikkan suku bunga pada Desember ini, Reny memproyeksikan, nilai tukar rupiah tidak akan jatuh terlalu dalam karena pelaku pasar sudah mengantisipasinya.
Kembalinya kepercayaan investor, membuat Reny memproyeksikan rupiah cenderung dalam tren menguat hingga akhir tahun di rentang Rp 14.400 per dollar AS hingga Rp 14.800 per dollar AS.
Menurut Reny, investor asing kembali percata pada pasar keuangan Indonesia karena pasar obligasi dalam negeri menawarkan yield yang menarik dan kompetitif.
Selain itu, investor tertarik investasi di Indonesia karena pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa satbil di 5%.