Laporan Reporter Kontan, Lidya Yuniartha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Keuangan memproyeksi pertumbuhan ekonomi di tahun ini akan berkisar 5,15% Angka ini lebih rendah dari target yang ditetapkan dalam anggaran pendapatan belanja negara (APBN) 2018 yang sebesar 5,4%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang sebesar 5,15% ini disebabkan beragam gejolak perekonomian yang terjadi.
"Ini terlihat ada sedikit revisi dari 5,17% tadinya karena kita perkirakan seluruh respon policy akibat gejolak di 2018 mulai terasa di kuartal terakhir yaitu pada Oktober hingga Desember," ujar Sri Mulyani, Rabu (2/1/2018).
Meski begitu, Sri Mulyani mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang masih stabil di tahun ini didukung oleh stabilitas pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan peningkatan investasi.
Baca: Kasus Korupsi Proyek Air Minum Kementerian PUPR, KPK Sita Deposito Rp 1 Miliar dari Rumah Tersangka
Ketidakpastian global yang meningkat akan berpengaruh terhadap permintaan ekonomi secara global. Proyeksi pertumbuhan ekonomi di 2018 hingga 2019 sudah direvisi mengalami perlambatan, harga komoditas mengalami ketidakpastian, bahkan cenderung melemah pada kuartal terakhir.
Ketidakpastian moneter Amerika Serikat hingga Perang Dagang antara Amerika Serikat dan China yang menyebabkan dinamika pada nilai tukar di tahun 2018.
"Kurs rupiah sampai 31 Desember Rp 14.481 per dollar AS, dan oleh karena itu rata-rata sepanjang tahun Rp14.247 per dollar AS," tutur Sri Mulyani.
Baca: Eni Maulani Berharap Ignasius Jonan dan Marcus Mekeng Jadi Saksi Kasusnya di Persidangan
Karena itu, Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan tetap mewaspadai berbagai indikator ketidakpastian ekonomi global.
Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang stabil, inflasi sepanjang 2018 pun terjaga sebesar 3,13%. Ini didukung oleh tidak adanya kebijakan harga energi domestik dan masih terkendalinya harga pangan.