Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Empat tahun sudah Pasangan duet Joko Widodo-Jusuf Kalla menjalankan pemerintahan Republik Indonesia pada Oktober 2018 lalu. Selama pasangan ini menjalankan pemerintahan, data utang pemerintah tercatat membengkak 1.809,6 triliun terhitung dari data utang terakhir Pemerintah di 2014.
Berdasarkan data APBN Kita edisi Desember 2018, utang pemerintah naik sebanyak 40,96 persen selama 4 tahun dari Rp 2.608,7 triliun di akhir 2014 menjadi Rp 4.418,3 triliun per akhir Desember 2018.
Penambahan jumlah utang baru pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun terlihat cukup besar.
Pada 2014 jumlah utang Pemerintah mencapai Rp 2.608,7 triliun, kemudian melonjadi jadi Rp 3.165,1 triliun di 2016 dan naik jadi Rp 3.995,2 triliun di 2017.
Kemudian, pada akhir 2018 total utang Pemerintah melonjak lagi menjadi Rp 4.418,3 triliun.
Jika dihitung, pada periode 2014 ke 2015 bertambah Rp 5556,4 triliun, periode 2015 ke 2016 bertambah Rp 350,4 triliun, periode 2016 ke 2017 bertambah Rp 479,7 triliun, dan periode 2017 ke 2018 bertambah Rp 423,1 triliun.
Meski menyentuh level Rp. 4000-an triliun, total utang pemerintah Indonesia masih jauh di bawah batas yang ditetapkan UU sebesar 60 persen dari pendapatan nasional atau PDB.
Total utang sebesar Rp 4.418,30 triliun sama dengan 29,98 persen dari PDB Indonesia senilai Rp 14.735,85 triliun.
Tolak Seruan IMF Pangkas Utang
Dalam laporan World Economic Outlook Update yang dirilis Senin (21/1/2019), International Monetary Fund (IMF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,7 persen tahun sebelumnya menjadi 3,5 persen di 2019.
Untuk mengurangi tekanan perlambatan ekonomi, IMF menyerukan bagi sejumlah negara untuk mengurangi jumlah utang.
Baca: Rasio Utang Terhadap PDB Masih Rendah, Sri Mulyani Klaim Pernyataan IMF Tak Relevan Bagi Indonesia
Namun Menteri Keuangan RI Sri Mulyani menilai seruan tersebut tak revelan untuk Indonesia. Pasalnya, rasio utang Indonesia masih rendah dibandingkan standar internasional.
"Kalau bicara IMF, ada negara advanced countries yang debt to GDP rasio ada di atas 60 persen, 80 persen bahkan 100 persen. Jadi untuk negara-negara seperti itu kita harus lakukan konsolidasi fiskal," jelasnya, Selasa (23/1/2019).
Sri Mulyani mencontohkan Italia yang rasio utang terhadpa produk domestik bruto (PDB)-nya sudah di atas 100 atas tetapi masih ingin defisitnya di atas 2,4 persen. Peringatan IMF, menurut Ani, berlaku untuk negara seperti Italia.
"Jadi untuk negara-negara seperti itu tantangannya bagaimana ciptakan growth cukup tinggi, tapi defisit lebih kecil. Indonesia sekarang debt to GDP di bawah 30 persen, growth (pertumbuhan ekonomi) di atas 5 persen, dan defisit di bawah 2 persen, jadi tidak relevan statement itu jika untuk Indonesia," ujar Sri Mulyani.