News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Praktik Perang Tarif Masih Dilakukan Aplikator Ojol, Pemerintah Harus Campur Tangan

Editor: Fajar Anjungroso
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OJEK DARING

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Strategi perang harga yang diterapkan salah satu perusahaan penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi online dinilai bisa mengarah pada praktik predatory pricing.

Direktur Inkubator Bisnis Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dina Dellyana mengatakan, meskipun saat ini dirasakan menguntungkan konsumen, strategi obral tarif justru malah mengancam konsumen dan mitra pengendara di masa mendatang.

Menurut Dina, jika praktik predatory pricing berhasil memunculkan satu pemain dalam satu bisnis transportasi online, maka pemerintah sekalipun akan kesulitan untuk mengendalikan harga.

Di sisi lain, pemain tunggal dalam sebuah usaha akan dengan mudah memainkan tarif karena memegang penuh kendali atas konsumen.

“Kondisi ini akan berimbas pada konsumen. Publik yang tadinya terus dimanja dengan tarif murah, seketika akan dihadapkan dengan tarif tinggi karena perusahaan penyedia jasa suatu saat juga harus mengembalikan investasi yang ia terima,” kata Dina dalam siaran pers yang diterima, Jumat (15/3/2019).

Lebih lanjut, Dina menjelaskan, predatory pricing menjadi salah satu strategi untuk menekan harga produk serendah mungkin supaya dapat menyingkirkan pesaing dari pasar.

Strategi ini juga biasa dipakai untuk mencegah pesaing baru muncul ke dalam arena usaha yang sama.

Selain itu, perang harga juga merupakan cara berkompetisi dengan memberikan harga serendah mungkin agar salah satu penyedia jasa bisa menjadi pilihan utama konsumen.

“Predatory pricing adalah strategi mengakuisisi konsumen yang paling mudah dan cepat bagi sebuah perusahaan untuk menguasai pasar. Apalagi, dengan tipe konsumen yang ada negara berkembang seperti di Indonesia, cara tersebut dianggap paling efektif untuk menggaet konsumen,” ungkapnya.

Perusahaan yang mengawali bisnis dengan mengobral diskon, lanjut Dina, akan selamanya bergantung pada strategi tersebut.

Sebab, sejak awal konsumen yang telah terkoneksi sudah terbiasa promosi yang disodorkan.

Dina menambahkan, yang jadi persoalan adalah ke depan perusahaan akan kesulitan mendapat margin keuntungan jika dana yang digulirkan terus difokuskan pada teknik marketing obral diskon.

Di satu sisi, biaya marketing harus ditekan demi meraih keuntungan. Sementara di sisi lain konsumen sudah terbiasa dengan harga yang lebih murah.

Baca: YLKI Ingatkan Perang Tarif Ojek Online Rugikan Mitra Driver dan Konsumen

Dina menambahkan, keberadaan investor besar yang menggelontorkan dana untuk biaya marketing menggunakan praktik predatory pricing bisa mematikan persaingan bisnis.

“Pemerintah harus mengontrol mengenai praktik perang harga, karena kalau sudah single player, pemerintah sudah tidak bisa mengontrol harga. Dalam ekosistem layanan yang sangat dibutuhkan publik, single player bisa menentukan harga suka-suka dia. Maka pemerintah harus campur tangan, memastikan bahwa strategi persaingan jangan sampai tidak sehat, jangan sampai impossible to catch up, jangan terjadi monopolistik,” imbuhnya.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pun diharapkan mulai aktif melihat perkembangan startup terutama dalam bisnis layanan transportasi berbasis aplikasi online.

Sebab, dengan persaingan yang terus berkembang, perlu pendalaman pada model bisnis di balik startup digital. “Pemerintah dan KPPU harus tahu, apakah perang harga ini berdampak besar ketika ada yang tidak fair di tengah persaingan,” tuturnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Obral Tarif Transportasi Online Bakal Rugikan Konsumen?" 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini