TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Animo masyarakat terhadap film nasional melaju dengan cepat. Petumbuhan penonton setiap tahunnya terus meningkat.
Per tahun produksi film juga terus meningkat kesemuanya itu menunjukkan industri film nasional sedang tumbuh subur. Namun demikian, pertumbuhan film itu tidak sama dan sebangun dengan hadirnya bioskop-bioskop baru.
Data yang ada di Gabungan Pengelola Bioskop Indonesia (GPBSI), kini ada 1685 layar. Sedangkan dengan minat penonton dan produksi film yang terus meningkat idealnya Indonesia paling tidak membutuhkan 3000 layar.
“Yang dibutuhkan masyarakat sekarang ini adalah bioskop independen,” ungkap Ketua GPBSI, Djonny Syafruddin.
Bioskop independen yang dimaksudkan adalah bioskop yang dikelola oleh individu swasta di luar bioskop berjaringan seperti Twenty One atau CGV.
Kebutuhan akan penambahan bioskop independen, tak bisa dihindari dan harus segera terpenuhi untuk menjaga agar pertumbuhan industri film nasional tetap kondusif seperti sekarang ini.
“Bioskop-bioskop independen itu bukan di ibukota provinsi, tetapi di wilayah tingkat II, kabupaten dan kota, serta kecamatan,” kata Djonny Syafruddin yang memilik ibioskop independen bernama Dakota di Cilacap, Kroya, Jawa Tengah, dan di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Alasan yang dikemukakan Djonny Syafruddin yang juga memiliki bangunan bioskop di beberapa kota itu, penonton film nasional terkosentrasi di wilayah yang disebutkan di atas.
“Pengalaman saya mengelola bioskop di beberapa daerah, film nasional yang relative bagus penontonnya banyak di kabupaten dan kecamatan. Kantong-kantong penonton film nasional terbesar adanya diwilayah kabupaten/kota dan kecamatan,” tutur Djonny.
Dalam hal pendirian bioskop itu, Djonny menghimbau agar pemerintah memberikan perhatian dalam beberpa hal. Di antaranya kredit lunak bagi, pembangunan bioskop, pajak yang dikenakan dan tarif dasar listrik.
“Sebaiknya pemerintah memberikan kredit lunak yang sama untuk usaha UMKM. Jangan disamakan dengan kredit perbankan. Biaya untuk pembuatan bioskop lengkap sekitar dua setengah miliar. Kami sebagai pengelola bioskop tidak minta kredit keseluruhan paling tidak separuh dari biaya itu diberi kredit,” jelas Djonny.
Biaya terbesar untuk membangun bioskop adalah alat projector digital dan sound system. Selainnya perlengkapan kursi, layar, dan pendingin. Pada satu area gedung bioskop dibutuhkan minimal 3-4 layar bioskop.
Untuk pembiayaan tersebut, kata Djonny, pemerintah dalam hal ini presiden bisa saja membuat Kepres atau inpres yang diteruskan kebijakan tersebut melalui Kementerian Keuangan, Kemendikbud, dan Bekraf.
”Lebih realistis dengan mengeluarkan kebijakan tersebut. Dengan begitu, masyarakat akan mendapatkan akses lebih luas untuk mendapatkan hiburan melalui film,” tutur Djonny.
Menjadi harapan para pengelola bioskop di seluruh Indonesia yang kerap disampaikan ke Djonny Syafruddin mengenai tarif listrik yang dikenakan bioskop sangat tinggi. Karena disamakan dengan tarif industri.
”Kami sebagai pengelola bioskop meminta kepada pemerintah agar tarif listrik disamakan dengan hotel. Sangat memberatkan kami bila disamakan dengan industri,” harap Djonny.
Mengenai pajak tontonan yang tidak sama satu daerah dengan daerah lain. Selaku ketua GPBSI yang membawa amanat para anggotanya itu, Djonny Syafruddin, meminta kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri untuk menyeragamkan pajak tontonan. Besaran pajak tontonan itu 5 -10 persen.
Berdirinya bioskop di daerah-daerah selain memudahkan akses bagi penyuka film nasional untuk mendapatkan hiburan. Industri film nasional akan menjadi tuan rumah di negeri sendir.
”Efek domino dar iadanya biosko pjuga turut memberikan kontribusi bagi terbukanya lapangan kerja, pendapatan daerah melalui perdagangan di sekeliling bioskop, juga pemasukan dari perparkitan,” ujar Djonny Syafruddin.