TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertinggal jauh bila dibanding kinerja bursa Asia lainnya. Buktinya, bila dihitung sejak awal tahun sampai Jumat (21/6/2019) IHSG hanya naik 2,28% sedangkan indeks Nikkei Tokyo naik 6,67% ytd bahkan Hang Seng Hongkong hingga 10,18% ytd.
Sejumlah analis menjelaskan indeks dipengaruhi sentimen kombinasi dari domestik dan global, terutama dari ketidakpastian kondisi politik.
Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menyatakan, bila melihat kinerja IHSG secara year to date saja memang composite index tertinggal cukup jauh. Namun sebaiknya investor juga memperhatikan kinerja IHSG tiga atau lima tahun ke belakang.
“Enam bulan pertama belum bisa menceritakan kinerja IHSG secara keseluruhan. Pada Mei lalu, pasar sempat turun drastis. Dan saat ini masih fluktuatif sehingga kalau mau melihat benar-benar kinerjanya tunggu satu tahun,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (21/6/2019).
Baca: Penerimaan Negara Indikasikan Sinyal Mengkhawatirkan
Kalau investor melihat riwayat IHSG lima tahun terakhir, kinerjanya tidak seburuk hari ini. Bahkan indeks naik sampai 41,90%. Jika dibandingkan dengan indeks Hanseng yang pada lima tahun belakang cuma naik 29,04%.
Teguh menjelaskan dengan gamblang, IHSG pada 2015 sempat drop hingga 12,1%. Namun tahun berikutnya, pada 2016 naik 15% bahkan pada 2017 terbang sampai 20%. Kalau ditotal pada 2016 sampai 2017 IHSG naik nyaris 40% dan pada 2018 hanya turun 2,5%.
Baca: Setelah India, Low MPV 7-Seater Renault Triber Siap Mendebut di GIIAS 2019
Jadi sampai hari ini menurut Teguh, IHSG masih mencatat kinerja yang baik di tengah sentimen eksternal dan internal yang menerpa.
Adapun alasan lain yang menekan IHSG, pertama, dana asing yang masuk ke pasar regular tidak banyak. Melansir data dari RTI pada Jumat (21/6/2019) tercatat net buy di seluruh pasar Rp 56,1 triliun sedangkan net sell justru minus 1,1 triliun.
Baca: Lion Air Turunkan Harga Tiket Rute Favorit di Rute Domestik, Ini Rinciannya
Net buy yang tercatat dalam data seluruh pasar sebanyak Rp 49,8 triliun merupakan aksi korporasi merger PT Bank Danamon sehingga perolehan dana masuk ke perusahaan bukan ke bursa.
“Sehingga kalau net buy dikurangi dengan aksi korporasi Bank Danamon menjadi Rp 6,3 triliun. Ini belum seberapa dengan dana asing yang masuk ke pasar Asia lain. Jadi wajar kalau ketinggalan dibanding bursa Asia lainnya,” ujarnya.
Alasan kedua, menurut Teguh adalah kinerja fundamental ekonomi yang masih lesu. Properti dan komoditas belum memberi sinyal untuk booming lagi.
Kepala Riset MNC Sekuritas Thendra Crisnanda juga menyatakan kinerja IHSG selama enam bulan pertama tahun ini dipengaruhi investor yang cenderung wait and see karena perhelatan pilpres yang tidak kunjung selesai.
“Sentimen lainnya juga karena pertumbuhan realisasi kinerja sebagian besar emiten di Indonesia pada kuartal I 2019 cenderung di bawah ekspektasi dengan pertumbuhan EPS single digit di level 8% yoy,” jelasnya.
Analis Infovesta Praska Putrantyo juga menyatakan ketertinggalan bursa pada enam bulan pertama karena keadaan pasar yang cukup fluktuatif.
"Dipengaruhi isu eksternal, pelaksanaan tahun politik, pelebaran CAD, pelemahan rupiah sehingga kondisi internal makro indeks menjadi rentan terhadap tekanan,” jelasnya.
Menurut Praska investor asing juga tengah berkontribusi terhadap anjloknya kinerja. Faktor eksternal paling mendominasi karena investor masih sangat berhati-hati untuk masuk ke bursa Indonesia. Adapun fundamental perekonomian yang masih kurang baik.
Melihat kondisi ini Teguh menjelaskan ada sentimen yang bisa menjadi katalis positif bagi IHSG ke depan adalah pembangunan infrastruktur seperti kereta cepat.
Walaupun dampaknya jangka panjang. Tapi, “Pembangunan ini bisa jadi menstimulasi sektor lain seperti properti untuk kembali booming,” jelasnya.
Praska menjelaskan kenaikan peringkat utang beberapa bank besar oleh S&P berdampak jangka panjang. Dalam waktu dekat IHSG bisa menguat karena ditopang dengan pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan Bank Indonesia.
Praska berharap dengan dipangkasnya suku bunga sektor perekonomian rill bisa tumbuh dengan baik. “Otomatis akan membuat asing melirik Indonesia untuk kembali berinvestasi,” pungkasnya.
Reporter: Arfyana Citra Rahayu
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Kinerja IHSG paling lemah se-Asia, ini penjelasan dari analis