“Memang tidak mudah mendirikan usaha, jadi ibu-ibu ini kan semua penyintas tsunami jadi mereka selamat dari tsunami dan akhirnya harus kembali ke Desa Alue Naga ini, jadi rata-rata itu tamat SD bahkan ada yang tidak bisa menulis dan membaca jadi ketika kami ajarkan (budidaya tiram) mereka tidak terima karena merasa dari lahir sudah tahu mencari tiram, jadi kita harus coba kasih model, ketika berhasil, ibu-ibu baru percaya tiram itu bisa diternak,” katanya.
Setelah mendapatkan kepercayaan dari ibu-ibu, Zainal mengatakan, kesulitan tidak selesai sampai di sini.
Selera pasar yang berbeda dengan hasil tiram budidayanya pun menjadi satu kendala tersendiri.
Pasalnya, pasar sudah terbiasa dengan ukuran tiram yang kecil, sedangkan tiram hasil budidayanya berukuran besar dan segar. Zainal pun bersama memutar otak untuk mencari inovasi-inovasi baru.
“Akhirnya kita muncul ide-ide kita jual yang tiram beku, kita jual dalam bentuk olahan baru, jadi akhirnya mengembangkan variasi produk kita dan nugget tiram kita menjadi satu-satunya dan kerupuk kita menjadi terbaik, bisa dibilang oleh-oleh baru lah dari Aceh,” tuturnya.
Usaha tiram Zainal pun semakin berkembang dan menghasilkan omset rata-rata mencapai 20-25 juta per bulan.
Tak ingin berpuas diri, Zainal ingin mengembangkan usahanya yang tentu saja membutuhkan modal usaha yang semakin besar.
Ia mengaku mencari modal serta pendampingan usaha dengan berbagai cara, salah satunya adalah mendaftarkan diri untuk menjadi peserta CMA untuk periode 2018-2019.
Kegigihannya membuahkan hasil dengan berhasil menjadi salah satu pemenang dalam kategori Agriculture and Fishery Microentrepreneur.
“Melihat ibu-ibu yang sudah semangat dalam usaha ini, mendorong kami membeli berbagai mesin padahal biayanya mahal, sampai akhirnya kami coba ikut CMA dan akhirnya dapat memenangkan kompetisi ini. Hasil dari kompetisi ini, kami belikan peralatan produksi dan Alhamdulillah produksi kami juga semakin lebih baik,” katanya.