News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Geo Dipa Ungkap Penyebab Lambannya Pengembangan Proyek Listrik Panas Bumi

Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gas buang keluar dari pipa panas bumi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Dieng yang dikelola PT Geo Dipa Energi di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (14/4/2013). Potensi panas bumi di Dieng sebagai energi terbarukan sebenarnya sangat besar, yakni mencapai 400 megawatt. KOMPAS/AGUS SUSANTO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lambannya pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia terungkap.

Pelaku usaha mengeluhkan ketentuan harga pembelian listrik oleh PT PLN (Persero) berdasarkan aturan yang ada saat ini.

Direktur Utama PT Geo Dipa Energi, Riki Firmandha Ibrahim mengungkapkan, penyebab utama lambannya pengembangan PLTP akibat regulasi pemerintah sendiri.

Aturan tersebut antara lain, Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik, dan Permen ESDM Nomor 24 Tahun 2017 tentang Mekanisme Penetapan Biaya Pokok Penyediaan Pembangkitan PLN.

“Dalam aturan disebutkan Feed in Tariff (FIT) atau harga energi baru terbarukan (EBT) Panas Bumi berlaku selama 30 tahun. Padahal yang diperlukan Independent Power Producer (IPP) adalah FIT itu hanya selama 10 tahun saja, tidak lebih. Setelah itu harga jual beli listriknya mengikuti biaya pokok produksi (BPP) listrik PLN setempat,” ujar Riki, Jumat (16/8).

Riki memperkirakan BPP PLN dalam 10 tahun mendatang sudah akan cukup memberikan keuntungan yang wajar kepada pengembang EBT panas bumi. Sehingga tidak perlu diterapkan FIT selama 30 tahun.

Rentang waktu 10 tahun menurutnya juga sesuai dengan kesepakatan pendanaan proyek pembangkit dari pihak perbankan, yang mensyaratkan dilakukannya payback pinjaman yang diberikan.

“Selain itu, juga mempertimbangkan masukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap potensi kerugian negara atas kontrak dengan FIT 30 tahun karena satu harga tinggi dan panjang,” ujarnya.

Butuh Insentif

Ia melanjutkan, penerapan FIT selama 10 tahun sejalan dengan usulan skema insentif dari Direktorat Jenderal (Ditjen) EBTKE Kementerian ESDM kepada Menteri Keuangan.

Berdasarkan kajian lapangan yang dilakukan Ditjen EBTKE, permasalahan yang menjadi penyebab kurang optimalnya pengembangan energi panas bumi di Indonesia antara lain: pengembang menanggung biaya infrastruktur yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah; upfront-risk dan kebutuhan investasi awal yang besar; beberapa lokasi potensi panas bumi berada di kawasan konservasi; daya beli masyarakat yang relatif rendah; dan ketimpangan antara kebutuhan listrik setempat dengan sumber daya energi panas bumi yang ada.

Selain itu pengembang panas bumi juga masih menghadapi risiko bisnis seperti: risiko sumber daya yang disebabkan oleh ketidakpastian kondisi sumber daya panas bumi pada saat proses eksplorasi; risiko kenaikan biaya proyek; risiko sosial berupa penolakan masyarakat disekitar proyek pengembangan PLTP akibat minimnya sosialisasi; serta risiko perubahan kebijakan dan regulasi.

“Pemerintah diharapkan mempertimbangkan insentif pembangunan infrastruktur panas bumi, insentif pencegahan risiko ekonomi, dan insentif lingkungan maksimal US$ 9 sen per kWh yang ditambah harga BPP PLN sebagai harga keekonomian proyek,” kata Riki.

Usulkan Tarif Batas

Setelah masa FIT 10 tahun tersebut selesai, Riki mengusulkan diterapkannya harga jual beli listrik menggunakan mekanisme tarif batas atas dan bawah. Sehinga menciptakan keadilan bagi pihak IPP sebagai produsen listrik dan PLN sebagai pembeli tunggal.

“Mari ke depan kita sepakati range atau batas atas - bawah harga EBT proyek baru yang lebih berkeadilan dan disesuaikan dengan insentif diatas, sebagai fair price untuk tahap awal proyek saja atau 10 tahun,” tegasnya.

Ia menambahkan, kesediaan pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM merevisi ketentuan FIT dari sebelumnya 30 tahun menjadi hanya 10 tahun dipastikan bakal menggiatkan proyek pembangkit listrik EBT, termasuk PLTP.

“Mendorong proyek EBT hari ini dipastikan tidak ada rugi dan dosanya, karena berbagai macam manfaat akan didapat dibandingkan dengan mudaratnya,” ujar Riki.

Geo Dipa sendiri saat ini memiliki empat wilayah kerja panas bumi (WKP) yakni Dieng unit 2 dan 3, Patuha unit 2 dan 3, kemudian WKP Umbul Telomoyo dan WKP Arjuno Welurang.

Lapangan eksisting Dieng dan Patuha masing-masing memiliki potensi 400 MW. Sedangkan WKP Arjuno Welurang di estimasi memiliki potensi 200 MW dan WKP Candi Umbul Telomoyo memiliki potensi sebesar 100 MW.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini