Laporan wartawan Tribunnews.com, Endrapta Pramudhiaz
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar dan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi FEB Universitas Gadjah Mada (UGM), Mudrajad Kuncoro, menilai penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP) seringkali lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik di daerah daripada faktor-faktor ekonomi yang seharusnya menjadi acuan utama.
Mudrajad menjelaskan formula yang digunakan dalam penentuan UMP pada dasarnya menggabungkan beberapa variabel seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu yang disimbolkan dengan alpha (α).
Namun, ia mengungkap ada hal yang tidak biasa terjadi ketika pandemi COVID-19 melanda.
Baca juga: Pemerintah Akan Umumkan UMP November Ini Setelah BPS Rilis Data Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi
Meskipun pertumbuhan ekonomi secara nasional negatif, sejumlah daerah masih memutuskan untuk menaikkan upah minimum mereka.
"Kok itu tetap naik? Artinya penentuan UMP itu lebih banyak faktor politis di daerah daripada faktor formula tadi," kata Mudrajad dalam acara diskusi di Jakarta, dikutip Jumat (8/11/2024).
Kuncoro mengungkapkan bahwa jika merujuk pada peraturan pemerintah (PP) yang berlaku, seharusnya tidak ada kenaikan UMP jika pertumbuhan ekonominya negatif.
Namun, kenyataannya, banyak kepala daerah yang memilih untuk menaikkan UMP secara signifikan karena di daerah tersebut buruh merupakan suara yang diperebutkan.
"Di daerah ini kan masalahnya buruh itu kan voters, pemilih, yang diperbutkan oleh setiap kepala daerah di manapun. Makanya agar dianggap populis, kemudian naiknya gila-gilaan," ujar Mudrajad.
"Kalau saya lihat selama 15 tahun terakhir, kenaikan UMP itu berkisar antara 4 persen sampai 24 persen per tahun. Bahkan di beberapa daerah ada yang lebih dari 100 persen," pungkasnya.