TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dalam survei Indeks Harga Properti Residensial kuartal II 2019 mencatatkan adanya perlambatan kenaikan harga properti residensial (IHPR) di pasar primer dan penurunan volume penjualan rumah.
Di dalam survei tersebut di jelaskan, IHPR pada kuartal II 2019 melambat dari 0,49 persen menjadi 0,2 persen dan secara tahunan melambat dari 2,04 persen menjadi 1,47 persen. Perlambatan tersebut terjadi di semua tipe rumah.
Harga properti residensial pada kuartal III 2019 ini diperkirakan masih akan mengalami kenaikan sebesar 1,76 persen.
Adapun penjualan properti di kuartal II 2019 ini merosot sebesar 15,9 persen secara kuartalan, jauh lebih rendah dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang mencapai 23,77 persen.
VP Economist PT Bank Permata (Tbk) Josua Pardede mengatakan, tren perlambatan penjualan properti ini terindikasi dari perlambatan penyaluran kredit perbankan.
"Tren perlambatan penyaluran kredit properti terlihat pada Juli 2019 dimana kredit pemilikan rumah tapak tumbuh 11,8 persen yoy, melambat dari 13,3 persen yoy pada akhir tahun 2018," ujar dia ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (27/8/2019).
Namun demikian, menurut Josua pasar properti bakal pulih lantaran adanya perbaikan kinerja konsumsi rumah tangga di semester II tahun ini. Hal itu bisa mendorong pasar properti hingga akhir tahun. Sebab, pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dengan menyalurkan bantuan sosial.
Selain itu, BI juga telah memutuskan untuk menurunkan suku bunga kebijakan sebesar 50 bps menjadi 5,5 persen sejak Juli 2019 serta sebagai langkah pre-emptive untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan dari dampak perlambatan ekonomi global.
Baca: Gundala: Bagaimana Joko Anwar mereka ulang jagoan klasik Indonesia
Baca: Istri Muda Punya Cicilan Utang Rp200 Juta per Bulan, Segini Harta Kekayaan Pupung Sadili Sebenarnya
Penurunan suku bunga acuan BI diperkirakan akan langsung mempengaruhi suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Penurunan suku bunga PUAB pada umumnya direspon dengan penurunan suku bunga deposito yang selanjutnya akan mendorong juga penurunan suku bunga kredit.
Transmisi kebijakan moneter ini yang pada akhirnya mempengaruhi suku bunga kredit, tidak terkecuali suku bunga kredit KPR. Selain itu, BI sudah merelaksasi kebijakan makroprudensial dengan menurunkan rasio loan to value (LTV) sejak Agustus 2018.
Namun demikian, cepat lambatnya penurunan suku bunga kredit termasuk KPR masih akan dipengaruhi marjin ongkos kredit perbankan yang tinggi, juga premi risiko yang dipengaruhi oleh tinggi atau rendahnya risiko kredit bank yang bersangkutan.
"Maka diperkirakan bahwa apabila suku bunga KPR berpotensi turun menyesuaikan penurunan suku bunga acuan BI. Oleh sebab itu, permintaan terhadap properti dan KPR diperkirakan akan berangsur naik paling cepat akhir tahun ini ata awal tahun depan," ujar dia.
Sebelumnya diberitakan beberapa bank besar dalam negeri justru meningkatkan suku bunga kredit pemilikian rumah (KPR) di tengah tren suku bunga BI yang justru tengah melandai.
Lia, salah satu nasabah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) misalnya, dia mendapatnya pemberitahuan secara tiba-tiba oleh pihak customer service BNI Griya melalui SMS bahwa suku bunga KPRnya naik dari 13,4 persen menjadi 14 persen untuk cicilan pembayaran yang jatuh tempo mulai Agustus ini.
Adapula Ichsan, nasabah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) pun mengeluhkan hal yang sama, meski dia tak begitu ingat besaran bunga dan kenaikannya, hanya saja dalam surat yang dia terima, besaran tagihan cicilannya naik jadi Rp 3,5 juta dari yang sebelumnya hanya Rp 3,3 juta.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bunga KPR Naik, Penjualan Rumah Jadi Seret"