Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Tembakau lokal dan cengkeh pada produk tembakau lebih diutamakan dibandingkan dengan usulan penggabungan volume produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) dalam menentukan kebijakan cukai tembakau.
Kepala Sub Direktorat Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Sunaryo menyatakan hal tersebut di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
“Kandungan tembakau lokal dan cengkeh sangat dipertimbangkan”, kata dia.
Kandungan tembakau lokal dan cengkeh menjadi salah satu pertimbangan ketika Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 156/2018 dikeluarkan.
PMK 158/2018 telah membatalkan PMK 146/2017 yang di dalamnya memuat pasal penggabungan SPM dan SKM.
Baca: Sayap Rusak, Sriwijaya Air Rute Jakarta-Batam Batal Lepas Landas
Sunaryo mengatakan adanya masukan kepada pihaknya mengenai penggabungan SPM dan SKM dalam regulasi cukai.
Namun, masukan tersebut perlu melihat tembakau lokal dan cengkeh dalam produk tembakau di dalam negeri.
Baca: Papua Kembali Rusuh, Legislator PKS: Pemerintah Gagal Tangani Indonesia Timur
“SKM mengandung tembakau lokal lebih tinggi,” ucapnya
Dia menjabarkan bahwa SKM golongan 1 menggunakan tembakau dalam negeri sebanyak 67 persen, tembakau impor 11 persen, dan cengkeh 22 persen.
Baca: Ada Masalah di Baterai, Garuda Larang Penumpang Bawa Macbook Pro 15 Inci
SKM golongan 2 menggunakan tembakau dalam negeri 72 persen, tembakau impor 6 persen, dan cengkeh 22 persen.
Sedangkan, SPM golongan 1 menggunakan tembakau lokal sebanyak 5 persen, tembakau impor 95 persen, dan tidak menggunakan cengkeh.
“Jelas SPM lebih tinggi impor (tembakau),” terangnya.
Dia mengatakan jika cukai tembakau terus dikejar untuk memaksimalkan pendapatan negara maka industri hasil tembakau (IHT) yang dapat bertahan hidup adalah industri besar.